Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Selasa (19/9) petang, menetapkan mantan direktur utama PT Pertamina (Persero) sebagai tersangka dalam kasus pengadaan gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) periode 2011-2021. Kepala KPK Firli Bahuri memperkirakan aksi korporasi tersebut menyebabkan kerugian negara yang mencapai $140 juta atau Rp2,1 triliun.
"KPK telah mengumpulkan dan menetapkan dan mengumumkan tersangka sebagai berikut: GKK alias KA (Karen Agustiawan) Dirut PT Pertamina Persero tahun 2009-2014," kata Firli dalam konferensi pers yang disiarkan secara langsung oleh TVOne.
Menurut Firli, kesepakatan pengadaan LNG tersebut menyebabkan pasar domestik mengalami kelebihan pasokan LNG (oversupply). Akibatnya, Pertamina harus menjual LNG itu di bawah harga pasar.
“Dari perbuatan GKK alias KA menimbulkan dan mengakibatkan kerugian keuangan negara sejumlah sekitar 140 juta dolar Amerika Serikat yang ekuivalen dengan Rp2,1 triliun,” ungkap Firli.
Lebih lanjut Firli mengatakan Karen mengambil keputusan pengadaan tersebut tanpa mendapatkan persetujuan dari pemerintah.
Karen menduduki posisi direktur utama BUMN terbesar di Tanah Air itu dari 2009 hingga 2014. Di bawah kepemimpinannya, ia melakukan sejumlah gebrakan dengan melakukan akusisi dan pengadaan LNG, di antaranya mengakuisisi blok migas di mancanegara, dan juga menjalin kerja sama dengan sejumlah produsen LNG, seperti Corpus Christi.
Karen sebelumnya juga tersandung kasus hukum karena dianggap bersalah dalam aksi akuisisi Blok Basker Manta Gummy di Australia.
Karen: Sudah Persetujuan Pemerintah
Sementara itu Karen, yang menggunakan rompi berwarna oranye, menegaskan kepada wartawan bahwa aksi korporasi yang dilakukan tersebut sejalan dengan target pemerintah terkait program bauran energi.
"Saya ingin menjelaskan bahwa aksi korporasi ini dilakukan untuk mengikuti perintah jabatan saya berdasarkan Perpres 2006 terkait energy mix bahwa gas harus 30 persen. Terus Inpres Nomor 1/2010 dan Inpres Nomor 14 Tahun 2014," jelas Karen seperti dikutip oleh Kompas.com.
Dalam Inpres I, papar Karen, Pertamina diminta untuk membangun floating storage regasification unit (FSRU) atau fasilitas regasifikasi LNG apung. Sebagai salah satu target keberhasilan, Pertamina diminta menandatangani perjanjian jual-beli LNG pada September 2013.
Menurut rilis Pertamina, perjanjian tersebut adalah kontrak pembelian 0,8 juta ton LNG dari fasilitas ekspor LNG, Corpus Christi Liquefaction di Texas, yang dikelola oleh perusahaan migas Amerika Serikat (AS) Cheniere. LNG dari Cheniere rencananya akan digunakan untuk memasok FSRU yang dikelola Pertamina.
"Jadi pengadaan LNG ini bukan aksi pribadi, tapi merupakan aksi korporasi Pertamina berdasarkan Inpres yang tadi saya sebut (dan) surat UKP4 (Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan.red) untuk pemenuhan proyek strategis nasional," tegas Karen.
Ia juga mengatakan bahwa kontrak pengadaan LNG dengan Corpus Christi Liquefaction yang ditandatangani pada 2013 dan 2014 sudah dianulir dengan perjanjian 2015. Dengan adanya amandemen tersebut, maka perjanjian 2013-2014 sudah tidak berlaku.
Karen juga menggarisbawahi bahwa dengan alasan pandemi ataupun bukan pandemi, Pertamina seharusnya dapat meraup keuntungan dari jual beli LNG karena berdasarkan dokumen pada Oktober 2018, Pertamina seharusnya bisa menjual LNG tersebut kepada perusahaan migas global BP dan Trafigura dengan harga 71 sen dollar AS per mmbtu (metric million british thermal unit) lebih mahal daripada harga pembelian LNG dari Corpus Christi.
“Kenapa tidak dilaksanakan, saya tidak tahu.” tukasnya. [ah/ft/rs]
Forum