Salah satu pertanyaan besar yang muncul ketika Aung San Suu Kyi mulai menjalankan pemerintahannya bulan ini adalah, apakah partai pemenang Hadiah Nobel itu akan bisa memperbaiki hak asasi di negaranya, terutama warga Muslim Rohingya yang telah lama teraniaya
Masa depan anak-anak Rohingya Myanmar tampak suram. Mereka paling banyak akan mendapat pendidikan sampai SMA. Tapi di bawah sistem baru, seorang anak akan beruntung kalau bisa menyelesaikan kelas 4 SD.
Sebagian besar atau 60 persen dari mereka tidak pernah bersekolah karena keluarga mereka terlalu miskin. Diperkirakan sekitar 80 persen warga Rohingya buta huruf.
"Tidak ada cukup sekolah dan sebagian orangtua tidak mampu membiayai perlengkapan sekolah untuk anak-anak mereka,” tutur U Kyaw Gla, seorang kepala sekolah yang didirikan LSM "Save the Children".
Hanya ada lima sekolah pemerintah untuk ke-12 kamp Rohingya di negara bagian Rakhine, di barat Myanmar. LSM-LSM seperti Save the Children dan UNICEF telah menyiapkan ruang belajar sementara, tapi kekurangan tenaga pengajar dan dana.
Ada satu sekolah lebih tinggi di kamp Rohingya itu, tetapi hanya dua siswa lulus pada tahun 2015 karena tingkat pengajaran yang rendah.
Asisten Direktur Pendidikan negara bagian Rakhine, Hla Aye Yin membela program pendidikan pemerintah untuk orang-orang Rohingya yang disebutnya orang "Bengali" - istilah dipakai oleh pemerintah Myanmar, tapi ditolak oleh warga Rohingya.
“Ya, kami mengatur pendidikan dasar untuk mereka, meskipun mereka hidup dalam masyarakat terpisah. Bahkan Direktur Jenderal pendidikan negara bagian Rakhine mengambil tanggungjawab itu. Saya mendengar akan segera disediakan gedung sekolah baru baik di kamp-kamp Bengali maupun di kamp pengungsi Rakhine," ujar Hla Aye.
Bahkan jika ada bantuan segera, bagi mereka yang tinggal di kamp-kamp pendidikan tingkat universitas tidak akan ada di sini. Warga Rohingya dilarang menghadiri kuliah di Rakhine, meskipun universitas itu terletak dekat sekali dengan kamp pengungsi itu.
Pemerintah Myanmar menjelaskan bahwa ditolaknya warga Rohingya itu mengikuti kuliah di Sittwe University adalah untuk menjaga ketenangan setelah gelombang kekerasan anti-Muslim pada tahun 2012. Kini mereka hanya bisa melihat gedung universitas itu melalui tembok pembatas yang dijaga dan dipasangi kawat berduri. [ps/ii]