Sudah sepuluh tahun perdamaian menyelimuti Aceh, provinsi di ujung Sumatera yang kerap dilanda konflik. Perjanjian Helsinki adalah salah satu yang mewujudkan perdamaian itu.
Dalam jumpa pers di kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), hari Jumat (13/11), fasilitator pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Juha Christensen, mengakui bahwa belum semua hal dalam perjanjian Helsinki dilaksanakan baik.
Terkait kesepakatan bahwa semua pihak yang terlibat dalam konflik harus membangun rasa saling percaya, faktanya masih ada kekhawatiran dan saling curiga di antara kedua belah pihak hingga saat ini, ujar Christensen, yang juga merupakan manager umum Aliansi Arsitektur Perdamaian dan Transformasi Konflik (PACTA).
Rasa saling curiga dan saling tidak percaya itu terlihat dari lambatnya implementasi peraturan presidan dan peraturan pemerintah tentang kewenangan pemerintah Aceh terhadap pertanahan, minyak dan gas serta lautan di Aceh, tambahnya.
Sementara di sisi lain, kata Christensen, pemerintah pusat mencurigai pemerintah Aceh terkait Qanun atau aturan tentang bendera Aceh yang menggunakan lambang yang sama seperti yang dipakai GAM di masa lalu.
Hal lain dalam perjanjian Helsinki yang belum dilaksanakan adalah soal reintegrasi, dimana bekas kombatan dan keluarganya seharusnya dibantu untuk mendapatkan pendidikan untuk profesi baru, ujarnya.
Pemerintah Aceh, tambah Christensen, seharusnya bisa menemukan rumusan sistem teknis untuk membantu para bekas kombatan. Terlebih karena anggarannya pun tersedia. Setelah memberlakukan kebijakan dana otonomi khusus, setiap tahun pemerintah daerah Aceh memperoleh sekitar Rp 5-6 trilyun untuk sepuluh tahun. Lima tahun berikutnya diturunkan menjadi Rp 3-4 trilyun setiap tahun.
Juha mengatakan ada 3.000 anggota GAM langsung dan yang terlibat dalam struktur GAM 15 ribu orang.
“Uang ada, cuma struktur teknisnya itu harus ditingkatkan, supaya tidak ada mantan kombatan yang merasa tertinggal, terlupakan dan nanti bisa timbul masalah lain. Salah satu faktor yang harus kita koreksi adalah qanun Aceh tentang lambang bendera. Itu sensitif tetapi harus dikoreksi. Sesuai Mou Helsinki, yang dulu lambang bendera tidak bisa dipakai," ujarnya.
Namun Christensen menilai secara keseluruhan perdamaian Aceh berjalan baik.
Komisioner Komnas HAM Hafid Abbas menyatakan, penting memperkuat institusi-institusi demokrasi di Aceh yang sebelumnya lemah. Dalam mengeluarkan kebijakan daerah, pemerintah daerah juga diminta menyelaraskan dengan undang-undang dasar yang ada sehingga tidak kontraproduktif.
“Perlu ini terus menerus dipantau supaya ada kemajuan terukur. Kalau ada di sana sini ada kelemahan-kelemahan saya kira menyebabkan kelemahan sebagai alasan apa yang terjadi di Aceh sungguh sempurna," ujarnya.
Meskipun belum berjalan sempurna, perjanjian Helsinki untuk mewujudkan perdamaian di Aceh dinilai bisa menjadi rujukan menyelesaikan konflik serupa, seperti yang terjadi di Papua dan Poso. Bahkan yang terjadi di negara-negara lain.
"Bisa menjadi kiblat dunia,di Myanmar kasus Rohingya, Patani, Mindanao. Walaupun dahulu mereka terkena tsunami tapi mereka tidak dapat mengambil hikmah dari kejadian itu. Ini juga bisa buat penyelesaian di Papua dan Poso," ujarnya.
Suasana damai di Aceh yang berlangsung saat ini tidak berlangsung begitu saja. Ada begitu banyak pihak yang menjaga dan mempertahankannya, dan ini sesuatu yang juga patut ditiru, ujarnya. [em/hd]