Isu pergantian menteri di Kabinet Kerja atau reshuffle kabinet pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla semakin kencang berhembus dalam beberapa pekan terakhir.
Meski demikian Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam beberapa kesempatan selalu berpesan kepada masyarakat agar memberi kesempatan para menterinya untuk bekerja sesuai dengan bidang kerja masing-masing. Dalam acara buka puasa di kediaman Ketua DPR Setya Novanto Presiden kepada wartawan menegaskan agar tidak membuat gaduh suasana dengan terus menggulirkan isu seputar reshuffle kabinet.
Jokowi mengatakan, "Jangan ganggu menteri yang sedang bekerja. Jangan buat isu lagi. Jangan ganggu menteri yang baru bekerja, jangan buat gaduh. Ya kamu itu.. jangan buat gaduh. He .. he .. Tanya rapor. Rapor mengenai menteri hanya Presiden yang tahu."
Pengamat politik dari Habibie Center, Bawono Kumoro kepada VOA Kamis (25/6) memastikan, pernyataan Presiden seputar reshuffle kabinet justru sebagai tolak ukur dari Presiden untuk melihat peta politik di permukaan. Khususnya menyangkut reaksi dari berbagai kekuatan politik yang ada. Baik itu dari kubu Koalisi Merah Putih, ataupun juga dari kubu Koaalisi Indonesia Hebat, sebagai kubu pendukung pemerintahan.
"Bagian dari cara Jokowi untuk menghitung jika dia melakukan reshuffle kelak. Kekuatan politik mana yang harus dikurangi jatahnya di kabinet. Dan kekuatan politik mana yang harus kemudian dirangkul. Atau bahkan perlukah mungkin ada kekuatan politik lain yang dalam hal ini partai-partai dalam Koalisi Merah Putih yang perlu diajak untuk masuk dalam kabinet untuk memperkuat kabinet. Lebih mensolidkan kabinet. Dan lebih mempercepat akselerasi kerja kabinet," papar Bawono.
Bawono Kumoro menambahkan, Presiden tidak akan mengurangi porsi atau jatah dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan partai lainnya di Koalisi Indonesia Hebat. Namun Presiden juga akan merangkul partai dari Koalisi Merah Putih sebagai bentuk keseimbangan politik di parlemen.
"Jokowi tidak akan gegabah mengurangi secara signifikan jatah kursi partai-partai koalisi Indonesia hebat yang telah berjasa menghantarkan dia bersama Jusuf Kalla menjadi RI1 dan RI2," ujarnya.
Namun demikian, Bawono Kumoro berpendapat meski ada sinyal Presiden akan merangkul kubu Koalisi Merah Putih untuk masuk dalam pemerintahan dalam hal ini dari Partai Amanat Nasional, namun tidak ada jaminan muncul sebuah keseimbangan politik di parlemen. Sebagaimana yang dialami mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat merangkul seluruh partai minus PDI Perjuangan di 2 periode kekuasaanya.
"Biarpun sudah merangkul partai sebanyak mungkin. Mendominasi kekuatan kursi di parlemen nanti, itu tidak serta merta menjadi jaminan bagi pemerintahan Jokowi untuk lebih solid, lebih stabil terhadap goncangan-goncangan politik. Apalagi Jokowi ini kan bukan veto player di partainya," tambah Bawono.
Tidak hanya pengamat, masyarakat juga ikut berpendapat soal isu reshuffle kabinet. Edi Kusworo (45 tahun) seorang wiraswasta berpendapat, Presiden Jokowi harus cepat dalam mengambil keputusan untuk melakukan reshuffle kabinet demi keberlangsungan program kerja pemerintahan berjalan secara maksimal.
"Perlu harus ada reshuffle. Karena memang kalo dilihat dari porsi kerjanya nggak bisa ya mesti gimana lagi," kata Edi.
Edi menambahkan, dalam melakukan reshuffle kabinet Presiden jangan hanya melihat orang-orang dari kubu partai pendukung, tetapi juga melihat dari kubu Koalisi Merah Putih yang bisa jadi memiliki orang-orang yang berkualitas dan mempunyai komitmen kuat untuk bekerja demi kesejahteraan rakyat dan negara kesatuan reublik Indonesia (NKRI).
"Memang harus melihat di partai lain juga. Karena mereka pun punya orang-orang yang cukup kompetensi juga di dalam kerjanya. Kita ga bisa egois oh ini harus grupnya Jokowi sendiri atau grupnya bu Megawati sendiri. Ya ga bisa gitu. Kita harus bisa melihat demi negara ini, demi NKRI, melihat orang lain yang bagus di pekerjaannya," ungkapnya.