Presiden AS Joe Biden dijadwalkan mengunjungi Vietnam pada 10 September mendatang, setelah menghadiri KTT G20 di New Delhi, India.
“Amerika Serikat ingin memperdalam hubungan kami dengan kawasan ini dan Vietnam merupakan mitra utama untuk melakukan hal itu,” kata Juru Bicara Gedung Putih Karine Jean-Pierre kepada VOA dalam jumpa pers hari Selasa (29/8).
Biden melewatkan dua pertemuan penting di tingkat kawasan yang dituanrumahi Indonesia hanya beberapa hari sebelumnya, yaitu KTT AS-ASEAN dan KTT Asia Timur, yang mempertemukan negara-negara di Asia Tenggara dengan mitra-mitranya, termasuk AS, China dan Rusia. Wakil Presiden AS Kamala Harris-lah yang akan menghadiri pertemuan-pertemuan tersebut untuk mewakili Biden.
Indonesia adalah ketua Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) tahun ini dan saat ini menjadi koordinator blok tersebut dalam hubungan AS-ASEAN. Sumber-sumber diplomatik yang berbicara kepada VOA dengan syarat anonim untuk membahas proses pertimbangan internal mengatakan bahwa Jakarta sengaja menyelaraskan jadwal pertemuan ASEAN dengan rencana Biden ke India dengan harapan agar sang presiden dapat menghadiri acara tersebut.
Para pejabat AS berkukuh bahwa keputusan untuk melewatkan agenda tersebut bukan pertanda Amerika tidak menghormati Indonesia.
“Presiden (Biden) sebenarnya ke Indonesia kurang dari setahun yang lalu untuk menghadiri (KTT) G20 dan program bilateral penting dengan (Presiden) Joko Widodo,” ungkap penasihat keamanan nasional Gedung Putih, Jake Sullivan, kepada VOA dalam jumpa pers belum lama ini.
Meski demikian, kunjungan presiden AS memiliki makna adanya nilai strategis yang diberikan Washington kepada suatu negara dan seberapa inginnya negara tersebut meningkatkan hubungan bilateralnya.
Baik Vietnam maupun Indonesia merupakan pemain penting dalam upaya yang dipimpin AS untuk mengatasi pengaruh China di kawasan. Lantas mengapa Biden lebih memilih Hanoi ketimbang Jakarta?
Vietnam Setuju Tingkatkan Hubungan dengan AS
Meskipun Indonesia telah menjadi mitra strategis AS sejak 2015, baru sekarang Hanoi tampak siap meningkatkan hubungannya ke tingkat yang sama dengan Indonesia, setelah menjalani kemitraan komprehensif selama 10 tahun.
Harris menawarkan Vietnam kesempatan untuk meningkatkan hubungan kedua negara ketika ia mengunjungi Hanoi pada Agustus 2021. Namun, kala itu Vietnam ragu menerima tawaran tersebut, karena khawatir akan tindakan balasan China.
Hanoi dan Beijing, yang selaras secara ideologis dan memiliki sistem pemerintahan yang serupa, sebenarnya memiliki hubungan yang lebih dekat. Keduanya menyepakati Kemitraan Strategis Komprehensif (CSP) pada 2008. Selain itu, Vietnam juga memiliki perjanjian CSP dengan tiga negara lainnya – India, Rusia dan Korea Selatan.
Kemitraan strategis dengan AS akan meningkatkan upaya Vietnam untuk mengembangkan sektor teknologi tingginya di berbagai sektor, termasuk produksi semikonduktor dan kecerdasan buatan, yang sama-sama menjadi industri penting dalam persaingan strategis AS dan China.
Beijing Lebih Tegas di Laut China Selatan
Terlepas dari keselarasan ideologi, hubungan Vietnam dengan China melemah akibat sengketa wilayah maritim di Laut China Selatan. Beijing mengatakan, pihaknya berdaulat atas hampir seluruh wilayah perairan tersebut, tumpang tindih dengan klaim dari Vietnam, Brunei, Malaysia, Filipina dan Taiwan.
Dengan semakin tegasnya Beijing, Hanoi melindungi hak-hak teritorialnya dengan mendiversifikasi kemitraan diplomatik dan memperkuat kemampuan militernya. Vietnam berencana mempertebal kekuatan militernya di wilayah perairan setelah citra satelit menunjukkan apa yang dilaporkan sebagai pembangunan landasan pacu oleh China di sebuah pulau yang disengketakan.
Biden mengungkapkan alasan kunjungan tersebut ketika menghadiri sebuah acara kampanye awal Agustus lalu.
“Mereka menginginkan hubungan ini karena mereka ingin memberi tahu China bahwa mereka tidak sendiri,” ujarnya.
Washington dengan senang hati memenuhi keinginan tersebut. Dalam beberapa tahun terakhir, di bawah strategi Indo-Pasifik yang Bebas dan Terbuka, pemerintahan Biden telah mendukung kemampuan keamanan dan pemantauan maritim Vietnam dengan memberikan dua kapal Penjaga Pantai AS, yang menjadi transfer pertahanan paling besar di antara kedua negara.
Jakarta Condong ke Beijing?
Secara konstitusional, Indonesia terikat oleh kebijakan luar negeri “bebas aktif,” di mana Indonesia berupaya memainkan peran dalam urusan di tingkat kawasan, namun menghindari keterlibatan dalam persaingan negara-negara besar. Akan tetapi, di bawah doktrin “4+1 prioritas” politik luar negeri RI pada periode 2019-2024, negara itu menempatkan “diplomasi ekonomi” di atas semua tujuan kebijakan luar negerinya yang lain.
Karena agenda pembangunan nasionalnya, Jokowi bersikap pragmatis dalam berhubungan dengan Beijing dan mengundang lebih banyak investasi China, kata Yeremia Lalisang, yang mengajar kebijakan luar negeri China di Universitas Indonesia.
“Ini semua terjadi dengan mengorbankan kedekatan Indonesia dengan Amerika Serikat,” ungkapnya kepada VOA.
Secara umum, kawasan itu telah menyatakan kecenderungan mereka yang semakin besar untuk bersekutu dengan Washington ketimbang Beijing, menurut jajak pendapat terbaru oleh ASEAN Studies Centre di ISEAS-Yusof Ishak Institute. Namun demikian, Indonesia – bersama Malaysia dan Brunei –merupakan pengecualian.
Ketika dipaksa memilih, lebih banyak warga Indonesia yang ingin ASEAN lebih memilih Beijing daripada Washington. Persentase warga Indonesia yang memilih AS merosot dari 64,3% pada 2021 menjadi 46,3% pada 2023, sementara mereka yang memilih China melonjak dari 35,7% menjadi 53,7%.
“Pekerjaan rumah terbesar” pemerintahan Jokowi adalah menemukan keseimbangan di antara negara-negara adidaya itu, kata Rangga Aditya Elias, kepala Departemen Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara.
“Kalau tidak, sampai batas tertentu, Jakarta akan menjadi mitra kelas dua dibandingkan Vietnam,” ujarnya kepada VOA.
Salah satu cara bagi Jakarta untuk menjaga keseimbangan itu adalah dengan meminta Washington menyediakan persenjataan. Pekan lalu, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menemui Menhan AS Lloyd Austin di Washington. Keduanya mengumumkan niat bersama untuk meningkatkan kemampuan pertahanan Indonesia.
Tak Banyak Kemajuan yang Dicapai ASEAN
Di bawah kepemimpinan Indonesia, belum banyak kemajuan yang dicapai dalam dua isu keamanan utama ASEAN, yaitu kekejaman HAM di Myanmar sejak kudeta militer tahun 2021 dan sengketa Laut China Selatan, kata Idil Syawfi, direktur Pusat Studi Internasional Parahyangan di Universitas Katolik Parahyangan.
Sebagai ketua ASEAN, Indonesia fokus pada pertumbuhan ekonomi dan tidak banyak mengatasi masalah geopolitik dan keamanan, kata Syawfi kepada VOA. Itu sebabnya, bagi Biden, “Tidak ada yang dapat dilakukan di Indonesia September nanti.”
Dibandingkan kepemimpinannya pada G20 tahun 2022, pengamat menilai, Jakarta menghabiskan lebih sedikit sumber daya diplomatiknya untuk ASEAN tahun ini. Sebagiannya disebabkan oleh fokus Jakarta pada pemilihan presiden 2024 di dalam negeri. Meskipun Jokowi tidak dapat mencalonkan dirinya lagi untuk periode ketiga, ia kini fokus memperkuat warisan kepemimpinannya sebagai presiden yang paling banyak membangun proyek infrastruktur, termasuk pindahnya ibu kota Indonesia dari Jakarta ke Kalimantan. [rd/dw]
Forum