Nama Syahrial Alamsyah alias Abu Rara terangkat ke permukaan begitu dia berhasil menyerang Menko Polhukam Wiranto saat itu, pada 10 Oktober 2019. Aksi itu dia lakukan bersama sang istri, Fitri Andriana. Kapolsek Menes, Banten, Kompol Dariyanto bahkan terluka akibat tusukan pisau Fitri, karena berupaya melindungi Wiranto.
Keikutsertaan perempuan dalam aksi terorisme terlihat dalam sejumlah kasus di Indonesia. Sebuah penelitian di Poso, Sulawesi Tengah, menemukan fakta, posisi perempuan dalam aksi terorisme bukan sebagai inisiator. Hal itu disampaikan Budiman Maliki, aktivis sosial kemanusiaan dari Lembaga Penguatan Masyarakat Sipil (LPMS) Poso.
“Potensi melakukan itu sebenarnya lebih pada upaya mendukung. Jadi, kalau istilahnya dia berinisiatif sendiri untuk melakukan itu, kita belum melihat. Tetapi upaya mendukung, baik pasif maupun aktif, itu cukup terlihat dari hasil penelitian yang ada,” kata Budiman.
Faktor Sosial Ekonomi Perlu Perhatian
Penelitian ini dilakukan melalui wawancara mendalam. LPMS Poso bekerja sama dengan Polres Poso dan Jurusan Sosiologi, Fisipol Universitas Gadjah Mada. Respondennya adalah puluhan istri narapidana kasus terorisme, istri pelaku aksi terorisme, dan janda teroris.
Budiman memaparkan, penelitian dilakukan untuk melihat kekuatan kelompok perempuan dalam upaya pencegahan aksi kekerasan ekstrim dari kelompok radikal. Perhatian utama diberikan pada potensi perempuan aktif mendukung inisiatif dan aksi terorisme. Di sisi lain, ditemukan bukti pula bahwa ada potensi perempuan untuk melakukan pencegahan dengan inisiatif aktif.
“Kalau mereka diarahkan dengan dukungan, terkait penguatan ekonomi, sosial, penguatan integrasi sosial baik di antara sesama masyarakat muslim maupun dengan kelompok keagamaan yang lain, atau kelompok suku dan kelompok sosial lain, itu menjadi kekuatan pencegah terkait aksi kekerasan ekstrim, di dalam keluarganya, anak-anaknya, saudaranya atau suaminya sendiri,” papar Budiman.
Karena itulah, menjauhkan perempuan dari aksi terorisme tidak semata persoalan ideologis. Mereka, kata Budiman, harus diperhatikan pula kehidupan ekonomi dan sosialnya. Khusus di Poso, di mana perempuan bekerja di sektor pertanian atau perkebunan, menjadi penting untuk memperhatian sektor tersebut.
Penelitian ini juga melihat bagaimana keterikatan perempuan pada kelompok eksternal. Mereka biasanya memiliki komunitas tersendiri untuk saling bersosialisasi dengan perempuan lain. Dalam sisi inilah, perlu diperhatikan karakteristik perempuan. Misalnya, seberapa kuat intensitas mereka di dalam kelompoknya, seberapa kuat ideologi yang selama ini mereka pelajari, dan tingkat soliditas di antara perempuan sendiri dalam satu komunitas itu.
Pengaruh Eksternal Dominan
Keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme juga terjadi dalam kasus ledakan bom di Sibolga, Sumatera Utara, Maret 2019 lalu. Tim Densus 88 sebelumnya menangkap Abu Hamzah dalam dugaan kasus terorisme. Dia kemudian dibawa ke rumahnya untuk penyelidikan lebih lanjut. Tidak diduga, Solimah istri Abu Hamzah justru meledakkan diri bersama anaknya yang masih berusia tiga tahun. Dalam catatan polisi, dua perempuan lain yaitu Khodijah dan Sumaya juga terkait dengan kasus tersebut. Abu Hamzah berjanji menikahi keduanya, dan menjadikan mereka pelaku bom bunuh diri.
Pada 2016, Dian Yulia Novi dan Ika Puspitasari ditangkap polisi karena terbukti merencanakan aksi bom bunuh diri. Dian akan beraksi di depan Istana Presiden, sementara Ika berencana melakukan bom bunuh diri di Bali pada malam tahun baru 2017.
Mei 2018, terjadi kasus serangan teror sejumlah gereja di Surabaya yang melibatkan Puji Kuswati karena menuruti perintah suaminya, Dita Upriyanto. Puji dan Dita bahkan mengorbankan empat anak mereka dalam aksi tersebut.
Tidak Ada Faktor Tunggal
Andi Intang Dulung dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengakui, perempuan berperan besar dalam upaya pencegahan. Kasus di Surabaya dan Sibolga, kata Intang, menjadi bukti keterlibatan perempuan akan membawa serta keterlibatan anak-anak mereka.
“Jadi memang perempuan itu dekat dengan keluarga dan dia mampu mempengaruhi keluarganya. Oleh karena itu, ketika dia mempunyai paham yang salah atau keliru, itu sangat berbahaya untuk keluarganya. Karena perempuan sangat didengar,” ujar Intang di Yogyakarta pekan lalu.
Intang memperingatkan, dalam banyak kasus perempuan bisa menjadi korban dari janji-janji yang indah. Suaminya berperan besar menanamkan keyakinan mengenai pengorbanan dan kehidupan setelah kematian dengan surga sebagai balasan atas tindakan mereka. Perempuan, lanjut Intang, harus memiliki pemahaman keagamaan yang kuat, agar terhindar dari bujuk rayu semacam itu.
Namun, dia juga mengakui, ada faktor lain yang harus memperoleh perhatian terkait tindak terorisme di tanah air.
“Menjadi teroris itu bukan karena single factor. Jadi bisa saja ada masalah kemiskinan, masalah ketidakpuasan, tidak diperhatikan oleh keluarga. Banyak terjadi, kenapa seseorang mau menjadi pengebom, ternyata dia tidak diperhatikan oleh keluarganya. Ada beberapa faktor, dan akhirnya persoalan ideologi menempel di situ,” tambah Intang.
Pekan lalu, BNPT mengumpulkan lebih dari 100 aktivis perempuan berbagai organisasi di Yogyakarta untuk membincangkan persoalan ini. Dialog ini mengambil tema Pelibatan Perempuan dalam Pencegahan Radikalisme dan Terorisme. BNPT memandang perempuan memiliki peran penting, bersama tokoh pemuda, tokoh pendidikan, dan guru dalam upaya pencegahan radikalisme dan terorisme di Indonesia. [ns/lt]