Seorang jemaah selamat dari penembakan massal di masjid Al Noor Christchurch, tapi dia kehilangan istri yang dicintainya saat itu. Sambil duduk di atas kursi rodanya, ia mengulurkan perdamaian dengan mengatakan ingin bertemu pelaku penembakan untuk mengatakan kepadanya, “Aku tetap mengasihimu.”
Sebanyak 50 orang tewas di dua masjid di kota South Island pada Jumat (15/3) ketika seorang pria bersenjata menyerbu ke dalam, menembakkan peluru ke para korban saat mereka sedang salat berjamaah. Kota yang aman itu kini diliputi oleh duka cita dan kesedihan.
“Saya ingin berpesan kepada orang yang melakukan ini, atau jika dia memiliki teman yang juga berpikiran seperti ini: Saya tetap mengasihimu,” kata Farhid Ahmed (59) kepada Reuters dalam sebuah wawancara di kediamannya, saat para pelayat tiba untuk menyampaikan belasungkawa bagi istrinya, Husna.
“Saya tidak setuju dengan apa yang kamu lakukan.. kamu mengambil keputusan yang salah, arah yang salah, tapi saya ingin percaya padamu. Bahwa kamu memiliki sesuatu yang besar di hati mu,” katanya.
Brenton Tarrant, seorang warga Australia berusia 28 tahun, yang diduga sebagai pendukung supremasi kulit putih, didakwa pada Sabtu (16/3) atas pembunuhan, penembakan massal paling brutal dalam sejarah Selandia Baru. Tarrant dipenjara tanpa pembelaan dan akan kembali ke pengadilan pada 5 April. Menurut pihak kepolisian, ia akan menghadapi lebih banyak dakwaan.
Ahmed, yang menggunakan kursi roda setelah mengalami kecelakaan karena tabrakan mobil, berada di masjid Al Noor ketika penembak menerobos masuk. Dia kebetulan salat di ruang depan bersama seorang temannya. Biasanya, dia salat di ruang utama.
“Saat itu saya menyadari dua hal. Satu, jelas itu adalah suara tembakan dan dua, ini adalah hari terakhir saya,” katanya. “Karena dalam situasi itu, dengan duduk si kursi roda, sangat mustahil bagi saya untuk bisa keluar.”
Tetapi si penembak tidak memasuki ruangan tempat Ahmed beribadah, dan itu membuatnya dapat melarikan diri ke tempat parkir dimana ia menyaksikan dengan jelas aksi pembantaian itu dari belakang sebuah mobil, di seberang masjid tempat dimana ia juga melihat istrinya ditembak.
“Orang-orang berteriak dan bergegas keluar.. ketika mereka keluar, mereka panik, saya melihat beberapa orang berdarah, beberapa orang lainnya tertatih-tatih,” katanya.
Setelah pria bersenjata itu pergi untuk melanjutkan aksi brutalnya di masjid lain, Ahmed kembali masuk ke dalam gedung.
“Itu sangat tidak bisa dipercaya,” katanya. “Di sisi kanan, di tempat biasanya saya berdoa, ada begitu banyak mayat.”
Mereka yang terluka berteriak. Ahmed menenangkan mereka sampai polisi tiba, yang kemudian membawanya juga kembali ke luar.
“Pada waktu itu saya tidak tahu bahwa jasad istri saya ada di gerbang lain.”
Setelah penembakan itu, kebingungan dan rasa masih belum bisa percaya telah menjadi hal yang biasa, karena seluruh kota mulai memahami skala tragedi itu.
Suara-suara lirih terdengar ketika para pekerja kantor dan murid-murid sekolah datang untuk meletakkan bunga di dekat masjid dan di tempat-tempat ibadah sementara di kota itu.
Di tengah situasi seperti itu masih ada aura berbagi dan solidaritas, yang dimiliki oleh para korban seperti Ahmed, yang berkhotbah dan berbicara mengenai memberikan ampunan di masjid.
“Jika ada kesempatan, saya ingin bertemu dengan Anda,” katanya merujuk kepada pelaku penembakan. “Saya ingin memeluk Anda dan saya ingin mengatakan hal ini secara langsung bahwa saya mengatakannya dari lubuk hati paling dalam. Saya tidak menyimpan dendam kepada Anda,saya tidak pernah membenci Anda, saya tidak akan pernah membenci Anda,” kata Ahmed.
“Saya ingin memeluknya dan berkata: ‘saya sudah memaafkan dia’. Saya ingin memberitahunya, jika ia memiliki ibu, saya juga ingin memeluknya dan ingin memberitahunya bahwa saya akan memperlakukan dia layaknya bibi saya.. saya ingin menyampaikan hal itu.” [er/ft]