Mahkamah Konstitusi, Kamis (13/12) mengabulkan sebagian gugatan materi Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang diajukan oleh tiga korban perkawinan anak yaitu Endang Wasrinah dari Indramayu, Maryati dari Bengkulu dan Rasminah dari Indramayu.
Dalam pertimbangannya, hakim Mahkamah Konstitusi menilai perbedaan batas usia perkawinan antara laki-laki dan perempuan menimbulkan diskriminasi.
Ketiga korban yang menjadi pemohon meminta batas umur pernikahan bagi perempuan sama dengan laki-laki yaitu 19 tahun.
Batas usia menikah untuk perempuan yang diatur dalam Undang-undang perkawinan yaitu 16 tahun. Hal itu menurut Hakim I Dewa Gede Palguna bertentangan dengan Undang-undang perlindungan anak di mana seseorang yang berumur 18 tahun masih dikatagorikan sebagai anak-anak. Sementara dalam Undang-undang perkawinan, batas usia menikah untuk laki-laki adalah 19 tahun.
Jika seorang perempuan menikah pada usia 16 tahun tambahnya maka ia terhambat dalam mendapatkan pendidikan wajib 12 tahun. Sedangkan laki-laki mendapat cukup waktu untuk memperoleh pendidikan dasar. Hak pendidikan adalah hak konstitusional yang seharusnya dapat dinikmati setara antara laki-laki dan perempuan.
Selain itu perkawinan pada usia 16 tahun menurut hakim I Dewa Gede Palguna memperbesar resiko kesehatan bagi perempuan dan ancaman kekerasan dalam pernikahan akan besar.
MK memberikan tenggat paling lama tiga tahun bagi DPR untuk mengubah ketentuan batas usia dalam Undang-undang perkawinan. Lembaga itu juga menyatakan bahwa Indonesia sudah masuk dalam kondisi Darurat Perkawinan Anak.
"Takkala berdampak atau menghalangi pemenuhan hak-hak dasar atau hak-hak konstitusi warga negara terkait hak sipil dan politik termasuk sosial dan budaya seharusnya tidak boleh dibedakan berdasarkan jenis kelamin. Maka pembedaan demikian jelas diskriminasi," jelas Hakim I Dewa.
Mahkamah Konstitusi menyatakan data pernikahan anak semakin meningkat. Hal itu dilihatnya dari data BPS tahun 2017. Sebaran angka perkawinan anak di atas 25 persen berada di 23 provinsi dari 34 provinsi di Indonesia.
Koordinator Kuasa Hukum pemohon Anggara mengapresiasi putusan MK tersebut. Meski demikian ia juga tidak mengerti alasan hakim MK yang menyerahkan kepada DPR hingga tiga tahun lamanya .
Dia sangat khawatir dalam kurun waktu tiga tahun tersebut jumlah perkawinan anak akan terus bertambah.
"Tentu saja kami menyesalkan kenapa yang jelas secara konstitusi dianggap diskriminasi dibiarkan lama menunggu selama tiga tahun agar pembentuk undang-undang membentuk Undang-undang yang lebih sesuai ketentuan atau hak-hak anak yang diatur dalam konstitusi.Buat kami selama tiga tahun berarti anak-anak Indonesia akan berada diketidakpastian mengenai hak-hak anak yang dijamin UU kita," kata Anggara.
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Indonesia dalam kondisi darurat perkawinan anak dan hal itu bisa menjadi landasan bagi presiden untuk mengeluarkan Perppu untuk mengatasi persoalan perkawinan anak ini. [fw/lt]