TRIPOLI, LIBYA —
Sebuah fatwa baru oleh Ulama tertinggi Libya, mengatakan, semua guru perempuan harus menutup muka mereka pada waktu mengajar murid laki-laki yang telah mencapai masa akil balik atau remaja, telah menimbulkan kemarahan para aktivis liberal, yang khawatir ini merupakan permulaan meluasnya pemisahan gender dalam pendidikan.
Mufti besar Libya, Syekh Sadik al-Ghariani mengeluarkan fatwa setelah Kementerian Pendidikan minta nasihat mengenai masalah-masalah itu karena beberapa sekolah telah mulai memerintahkan guru-guru perempuan menutup muka mereka.
Mufti Sadik al-Ghariani tidak mengatakan harus ada pemisahan gender samasekali, tetapi ia menasihatkan penyelesaian yang ideal adalah memisahkan semua laki-laki dan perempuan di sekolah-seolah dan perguruan tinggi.
Peraturan itu menimbulkan kemarahan para aktivis perempuan. Salah seorang diantara mereka adalah Nareen, yang minta agar nama keluarganya jangan disebutkan.
Nareen mengatakan ini merupakan kemunduran. “Saya sangat marah. Saya rasa, ini merupakan kemunduran besar. Sangat sedih melihat sistem dalam pendidikan kembali memisahkan perempuan, laki-laki dan anak-anak,” katanya.
Para pemimpin oposisi mengangkat al-Ghariani sebagai mufti besar dalam pergolakan melawan mantan pemimpin Libya, Moammar Gaddafi. Ia juga telah memegang jabatan yang sama di bawah pemerintahan Gaddafi.
Tetapi para tokoh reformasi menjadi semakin kecewa karena apa yang mereka lihat sebagai campur tangan mufti dalam politik. Ia menggunakan pengaruh setengah resmi dan fatwanya tidak mempunyai kekuatan hukum, tetapi mereka bisa membentuk kebijakan pemerintah.
Sebuah negara Muslim Sunni di mana ibadah agama menopang tiap norma masyarakat, Libya telah berjuang dalam masa transisi pergolakan dunia Arab menuju demokrasi.
Orang-orang yang berpandangan liberal seperti Nareen, takut akan kehilangan pengaruh yang direbut golongan Islamis yang ingin membuat negara itu lebih konservatif.
“Ini merupakan agenda politik jangka panjang karena kalau ingin mengubah negara maka harus menarget pendidikan karena sekolah-sekolah membina generasi masa depan. Jadi mereka menjadikan pendidikan sebagai sasaran. Kalau akan menyiapkan masa depan yang diinginkan, orang akan menarget sekolah-sekolah untuk menabur benih bagi masa depan itu,” ujar Nareen lagi.
Sebelumnya, tahun ini Mufti Libya mengirim surat terbuka kepada para tokoh politik Libya , memperingatkan bahwa kalau tidak diberlakukan pemisahan gender yang ketat di sekolah-sekolah, universitas-universitas dan bahkan kantor-kantor pemerintah, Libya akan menanggung risiko mendapat murka dari Tuhan.
(Jamie Dettmer/VOA).
Mufti besar Libya, Syekh Sadik al-Ghariani mengeluarkan fatwa setelah Kementerian Pendidikan minta nasihat mengenai masalah-masalah itu karena beberapa sekolah telah mulai memerintahkan guru-guru perempuan menutup muka mereka.
Mufti Sadik al-Ghariani tidak mengatakan harus ada pemisahan gender samasekali, tetapi ia menasihatkan penyelesaian yang ideal adalah memisahkan semua laki-laki dan perempuan di sekolah-seolah dan perguruan tinggi.
Peraturan itu menimbulkan kemarahan para aktivis perempuan. Salah seorang diantara mereka adalah Nareen, yang minta agar nama keluarganya jangan disebutkan.
Nareen mengatakan ini merupakan kemunduran. “Saya sangat marah. Saya rasa, ini merupakan kemunduran besar. Sangat sedih melihat sistem dalam pendidikan kembali memisahkan perempuan, laki-laki dan anak-anak,” katanya.
Para pemimpin oposisi mengangkat al-Ghariani sebagai mufti besar dalam pergolakan melawan mantan pemimpin Libya, Moammar Gaddafi. Ia juga telah memegang jabatan yang sama di bawah pemerintahan Gaddafi.
Tetapi para tokoh reformasi menjadi semakin kecewa karena apa yang mereka lihat sebagai campur tangan mufti dalam politik. Ia menggunakan pengaruh setengah resmi dan fatwanya tidak mempunyai kekuatan hukum, tetapi mereka bisa membentuk kebijakan pemerintah.
Sebuah negara Muslim Sunni di mana ibadah agama menopang tiap norma masyarakat, Libya telah berjuang dalam masa transisi pergolakan dunia Arab menuju demokrasi.
Orang-orang yang berpandangan liberal seperti Nareen, takut akan kehilangan pengaruh yang direbut golongan Islamis yang ingin membuat negara itu lebih konservatif.
“Ini merupakan agenda politik jangka panjang karena kalau ingin mengubah negara maka harus menarget pendidikan karena sekolah-sekolah membina generasi masa depan. Jadi mereka menjadikan pendidikan sebagai sasaran. Kalau akan menyiapkan masa depan yang diinginkan, orang akan menarget sekolah-sekolah untuk menabur benih bagi masa depan itu,” ujar Nareen lagi.
Sebelumnya, tahun ini Mufti Libya mengirim surat terbuka kepada para tokoh politik Libya , memperingatkan bahwa kalau tidak diberlakukan pemisahan gender yang ketat di sekolah-sekolah, universitas-universitas dan bahkan kantor-kantor pemerintah, Libya akan menanggung risiko mendapat murka dari Tuhan.
(Jamie Dettmer/VOA).