Ini pertanyaan yang ada di benak banyak kalangan setelah melalui proses pemilihan kepala daerah (Pilkada) DKI Jakarta yang sangat sengit selama tujuh bulan terakhir ini. Mungkinkah merajut kembali kebersamaan pasca pilkada?
Otong, warga Betawi di Tanjung Duren Selatan, sudah tak sabar menunggu hari pemungutan suara Pilkada putaran kedua. Bukannya sekedar ingin memberikan suara, tapi ia ingin agar pilkada segera berakhir. “Saya ingin semua cepat baik lagi. Gak ada lagi yang bikin saya merasa berdosa kalau milih si A atau si B. Gak ada lagi yang demo-demo. Semua balik berteman lagi,” ujar Otong ketika diwawancarai VOA. Ia tidak sendiri. Sebagian besar warga Jakarta tampaknya sudah lelah betul dengan pertarungan guna memperebutkan kursi orang nomor satu di ibukota.
Pilkada DKI Jakarta yang diikuti oleh lebih dari tujuh juta warga ini memang menunjukkan tingginya kesadaran dan partisipasi politik. Tetapi isu-isu yang mengemuka menggambarkan letupan perbedaan yang sudah lama mengendap dan seakan baru mendapat penyaluran sekarang ini. Isu agama dan ras menjadi isu yang paling banyak digunakan untuk menyerang lawan politik, selain isu korupsi, ketidakadilan dalam penegakan hukum, hingga isu kembalinya Orde Baru. Mereka yang memilih pasangan Basuki Tjahaya Purnama-Djarot Saiful Hidayat, dituduh kafir. Sementara mereka yang memilih Anies Baswedan-Sandiaga Uno dituduh radikal. Perdebatan ini tidak saja muncul dalam kampanye-kampanye resmi di lapangan dan media televisi, tetapi juga lewat sosial media. Adu program seakan menjadi nomor dua.
Namun anggota DPR dari Partai Nasdem Irma Suryani Chaniago mengatakan segera setelah hasil pemungutan suara keluar, semua pihak wajib mengembalikan situasi seperti sedia kala. “Terlalu mahal mengorbankan kebhinekaan dan merusak NKRI yang kita bangun hanya untuk satu kursi gubernur,” ujar Irma Suryani pada VOA. Ditambahkannya, “semua komponen bangsa barus sadar bahwa kita tidak berhak menceraiberaikan apa yang sudah dibangun dan dilakukan bapak bangsa – founding fathers – kita untuk menyatukan negara ini menjadi negara kesatuan.”
Hal senada ditambahkan juru bicara tim Anies-Sandy, Edriana Nurdin. “Yang harus dilakukan adalah dialog, baik dialog antar agama, sosial, budaya dan politik. Semua sekat harus dihilangkan,” ujar Edriana ketika dihubungi VOA Rabu siang (19/4). Ia menyarankan pada pihak yang menang agar jangan bersorak-sorai, tapi justru merangkul yang kalah. “Kita sesama warga Jakarta ingin melakukan yang terbaik agar pembangunan dirasakan oleh semua orang. Jadi mari kita berdialog untuk merajut kebersamaan yang sempat terganggu,” tambahnya.
Pengamat yang juga simpatisan salah satu pasangan cagub Taufan Maulamin menilai yang dibutuhkan warga adalah gubernur baru yang bisa memberi harapan baru. “Kita sekarang menghadapi kondisi ekonomi yang melambat, kemiskinan dan pengangguran yang meningkat, pertumbuhan ekonomi yang tidak kuat, daya serap APBN yang kurang baik... Kita tidak memperoleh pertumbuhan ekonomi yang baik, tapi mbok ya ada rasa keadilan. Ada harapan agar problematika masyarakat bisa terselesaikan,” ujar Taufan. Sekjen Asosiasi Akuntan & Keuangan Syariah Indonesia ini berharap selepas pilkada akan ada moratorium. “Kita harus mengakomodir semua karena kemenangan Jakarta adalah kemenangan untuk semua, tidak ada lagi polarisasi. Isu agama saya harap hanya untuk menjadi dorongan partisipasi publik, dan setelah menang, yang ada adalah Jakarta yang satu. Tidak ada lagi nomor dua atau tiga,” tambahnya.
Sebagai ibukota negara, Jakarta adalah cermin Indonesia. Cermin demokrasi, pluralisme dan penegakan hukum. Jika warga Jakarta menginginkan perubahan positif maka apapun hasil pilkada hari ini, warga harus mampu merajut kembali kebersamaan demi memulai perjuangan sesungguhnya. [em]