VIRGINIA —
Dampak penembakan massal di Newtown, Connecticut, bulan Desember lalu sangat terasa di Virginia, di mana terjadi penembakan di sebuah kampus universitas yang menelan korban jiwa paling besar dalam sejarah Amerika, dan mencabik-cabik keluarga korban serta membuat orang berupaya menemukan cara untuk membantu mereka yang menderita gangguan jiwa.
Ketika Joe Samaha mendengar berita tentang penembakan di Virginia Tech lima tahun lalu, ia khawatir. Anak perempuannya, Reema, adalah mahasiswa di universitas.
“Saya melihat angka-angka korban,” kata Samaha. “Saya melihat jumlahnya terus bertambah, dan saya mengatakan, ada sesuatu yang terjadi di sana, saya harus menelepon Reema.”
Reema tidak pernah menjawab telepon ayahnya. Ia bersama 31 mahasiswa lainnya tewas ditembak Seung-Hui Cho, mahasiswa yang mengakhiri pembantaian tersebut dengan bunuh diri.
Lucinda Roy, guru besar yang mengajar Cho tahun 2005, mengingat sosok Cho sebagai “seseorang yang bicara dengan suara paling lembut yang pernah didengarnya.” Yang tidak diketahui Roy adalah Cho menderita sakit jiwa yang disebut “selective mutism.” Ini membuat Cho tidak bisa berbicara dalam kondisi-kondisi tertentu. Teman-temannya mengolok-oloknya karena penyakit ini. Roy mengatakan, ia berupaya mendapatkan bantuan bagi Cho, tetapi gagal. “Setiap konselor kami sekarang ini menangani 1.750 mahasiswa,” ujarnya lagi.
Satu bulan setelah penembak yang terganggu kesehatan mentalnya menembak enam orang dewasa dan 20 anak-anak di sekolah dasar Sandy Hook, Newtown, Connecticut, Joe Samaha memahami rasa sakit yang dirasakan para orang tua korban Sandy Hook.
“Perasaan terluka itu muncul lagi” ujar Joe Samaha. “Saya jadi mati rasa, tertegun, dan mengatakan… oh jangan… jangan sampai terjadi lagi.”
Anggota DPR dari Virginia, Rob Krupicka, ingin memastikan agar pembantaian seperti ini tidak pernah terjadi lagi. “Saya kira daripada mempersenjatai guru-guru, kita seharusnya mempersenjatai guru-guru dengan pengetahuan dan perangkat yang bisa mengidentifikasi isu-isu kesehatan jiwa dalam komunitas sekolah mereka dan memberikan dukungan pada pelajar-pelajar yang membutuhkannya, sehingga tidak terjadi tragedi lagi,” ujar Krupicka.
Rob Krupicka telah mengajukan sebuah RUU yang membutuhkan pendanaan 2,5 juta dollar untuk membiayai pelatihan kesehatan jiwa bagi para guru di sekolah-sekolah di Virginia. Ketika ia melihat ada program-program yang memberi hasil nyata, ia menjadikan program “Mental Health First Aid” atau “Bantuan Kesehatan Jiwa” menjadi prioritas utamanya.
Pelatihan selama 12 jam itu menunjukkan tanda-tanda peringatan dan faktor-faktor risiko dalam isu kesehatan jiwa pada umumnya. Instruktur Leslie Roberts mengatakan, latihan tersebut juga berupaya meniadakan stigma sakit jiwa.
Dalam pelatihan di kabupaten Fairfax pekan ini, para pelajar ikut dalam latihan di mana beberapa orang membisikkan sesuatu di telinga pelajar lain ketika mereka sedang berbicara. Pelajaran ini menunjukkan, betapa sulitnya bicara dengan seseorang yang mendengar suara-suara di kepalanya.
“Setiap orang bisa memperoleh manfaat dari latihan ini. Pada akhirnya latihan ini akan membuat komunitas kita jadi lebih aman,” ujar Tianja Grant, pekerja sosial yang mengikuti latihan tersebut.
Bagi Joe Samaha, pendanaan dari negara bagian bagi pelatihan semacam ini merupakan langkah menuju arah yang tepat. Samaha menambahkan, ia akan terus melanjutkan perjuangan untuk mendukung kesadaran kesehatan mental demi puterinya yang telah tiada. (Carla Babb)
Ketika Joe Samaha mendengar berita tentang penembakan di Virginia Tech lima tahun lalu, ia khawatir. Anak perempuannya, Reema, adalah mahasiswa di universitas.
“Saya melihat angka-angka korban,” kata Samaha. “Saya melihat jumlahnya terus bertambah, dan saya mengatakan, ada sesuatu yang terjadi di sana, saya harus menelepon Reema.”
Reema tidak pernah menjawab telepon ayahnya. Ia bersama 31 mahasiswa lainnya tewas ditembak Seung-Hui Cho, mahasiswa yang mengakhiri pembantaian tersebut dengan bunuh diri.
Lucinda Roy, guru besar yang mengajar Cho tahun 2005, mengingat sosok Cho sebagai “seseorang yang bicara dengan suara paling lembut yang pernah didengarnya.” Yang tidak diketahui Roy adalah Cho menderita sakit jiwa yang disebut “selective mutism.” Ini membuat Cho tidak bisa berbicara dalam kondisi-kondisi tertentu. Teman-temannya mengolok-oloknya karena penyakit ini. Roy mengatakan, ia berupaya mendapatkan bantuan bagi Cho, tetapi gagal. “Setiap konselor kami sekarang ini menangani 1.750 mahasiswa,” ujarnya lagi.
Satu bulan setelah penembak yang terganggu kesehatan mentalnya menembak enam orang dewasa dan 20 anak-anak di sekolah dasar Sandy Hook, Newtown, Connecticut, Joe Samaha memahami rasa sakit yang dirasakan para orang tua korban Sandy Hook.
“Perasaan terluka itu muncul lagi” ujar Joe Samaha. “Saya jadi mati rasa, tertegun, dan mengatakan… oh jangan… jangan sampai terjadi lagi.”
Anggota DPR dari Virginia, Rob Krupicka, ingin memastikan agar pembantaian seperti ini tidak pernah terjadi lagi. “Saya kira daripada mempersenjatai guru-guru, kita seharusnya mempersenjatai guru-guru dengan pengetahuan dan perangkat yang bisa mengidentifikasi isu-isu kesehatan jiwa dalam komunitas sekolah mereka dan memberikan dukungan pada pelajar-pelajar yang membutuhkannya, sehingga tidak terjadi tragedi lagi,” ujar Krupicka.
Rob Krupicka telah mengajukan sebuah RUU yang membutuhkan pendanaan 2,5 juta dollar untuk membiayai pelatihan kesehatan jiwa bagi para guru di sekolah-sekolah di Virginia. Ketika ia melihat ada program-program yang memberi hasil nyata, ia menjadikan program “Mental Health First Aid” atau “Bantuan Kesehatan Jiwa” menjadi prioritas utamanya.
Pelatihan selama 12 jam itu menunjukkan tanda-tanda peringatan dan faktor-faktor risiko dalam isu kesehatan jiwa pada umumnya. Instruktur Leslie Roberts mengatakan, latihan tersebut juga berupaya meniadakan stigma sakit jiwa.
Dalam pelatihan di kabupaten Fairfax pekan ini, para pelajar ikut dalam latihan di mana beberapa orang membisikkan sesuatu di telinga pelajar lain ketika mereka sedang berbicara. Pelajaran ini menunjukkan, betapa sulitnya bicara dengan seseorang yang mendengar suara-suara di kepalanya.
“Setiap orang bisa memperoleh manfaat dari latihan ini. Pada akhirnya latihan ini akan membuat komunitas kita jadi lebih aman,” ujar Tianja Grant, pekerja sosial yang mengikuti latihan tersebut.
Bagi Joe Samaha, pendanaan dari negara bagian bagi pelatihan semacam ini merupakan langkah menuju arah yang tepat. Samaha menambahkan, ia akan terus melanjutkan perjuangan untuk mendukung kesadaran kesehatan mental demi puterinya yang telah tiada. (Carla Babb)