Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menulis di X, bahwa ia akan segera bertindak sesuai dengan undang-undang baru, untuk menutup apa yang ia sebut sebagai “saluran teroris” Al Jazeera di Israel.
Ia mengatakan, Al Jazeera bertindak melawan keamanan Israel, berperan serta aktif dalam pembantaian oleh Hamas 7 Oktober, dan menghasut kekerasan terhadap tentara Israel.
Parlemen Israel, Knesset, mengesahkan undang-undang itu dengan suara 71 berbanding 10.
Wakil Ketua Knesset Erez Malul mengatakan, “Saya umumkan, bahwa RUU untuk mencegah badan-badan penyiaran asing yang merugikan keamanan negara, perintah sementara, selama operasi Pedang Besi hingga tahun 2024, diterima pada pemungutan suara kedua dan ketiga. RUU itu akan disahkan menjadi undang-undang.”
Al-Jazeera mengecam klaim penghasutan oleh Netanyahu itu sebagai “kebohongan menggelikan yang berbahaya.” Media itu mengatakan, pihaknya menganggap Netanyahu bertanggung jawab atas keselamatan staf dan kantor-kantornya.
Jaringan media yang memiliki lebih dari 430 juta pemirsa di seluruh dunia itu mengatakan, akan melanjutkan apa yang digambarkan sebagai liputan yang berani dan profesional.
Analis media Israel mengatakan, mereka yakin UU baru itu dapat dibenarkan. Gil Hoffman adalah Direktur Eksekutif Honest Reporting atau Peliputan yang Jujur, kelompok pengawas media.
“Orang-orang di seluruh dunia tidak menyadari bahwa Al Jazeera adalah media pemerintah Qatar, dan media itu mempromosikan agenda yang sangat bermusuhan dengan Israel. Ada banyak laporan yang tidak benar selama perang.”
Namun Hoffman menambahkan, dampak larangan itu mungkin lebih bersifat simbolis bagi pemerintahan Netanyahu, yang menghadapi protes keras, baik dari luar maupun dalam Israel.
Kembali Gil Hoffman mengatakan melalui Zoom, “Batasnya 45 hari. Dan meski dapat diperbarui, undang-undang ini hanya boleh digunakan selama perang, dan Israel berharap perang akan segera berakhir. Saya berharap undang-undang ini hanya akan digunakan satu kali. Al Jazeera akan kembali mengudara dari sini.”
Juru bicara Gedung Putih, Karine Jean-Pierre mengatakan, “Langkah seperti ini memprihatinkan. Kami percaya pada kebebasan pers. Ini sangat penting. AS mendukung tugas penting yang dilakukan wartawan di seluruh dunia, termasuk mereka yang meliput konflik di Gaza.”
Undang-undang baru itu muncul ketika Qatar mencoba menjadi perantara kesepakatan untuk membebaskan puluhan sandera Israel, dengan imbalan gencatan senjata sementara. Beberapa analis mengata-kan undang-undang baru ini dapat mempersulit upaya-upaya itu. [ps/ka]
Forum