Mengusung tema Bhineka Tunggal Jazz-nya yang disadur dari Bhineka Tunggal Ika, NgayogJazz 2015 berlangsung di desa Pandowoharjo, desa Wisata di kabupaten Sleman Yogyakarta. Penyelenggara acara yang sekaligus musisi terkenal Djaduk Ferianto mengatakan keragaman diwujudkan dari beragam aliran musik maupun band dan musisi yang tampil di enam panggung yang berdiri di antara pohon kelapa dan rumpun bambu. Keenam panggung itu diberi nama tokoh pewayangan Pandawa yaitu Janaka, Puntadewa, Werkodara, Nakula, Sadewa dan Lokananta khusus untuk Gamelan.
“Di situ ada masjid, di situ ada kapel, kalau pas Lebaran masyarakat Kristiani ikut punya gawe. Ketika perayaan untuk ummat Kristiani yang muslim juga ikut membantu. Jadi hubungan manusia dengan macam-macam kelas sosialnya semua berbaur. Dari warna jazz; ada contemporary ada yang mainstream..sangat beragam diketemukan juga dengan kesenian tradisional dengan satu panggung yang diisi oleh gamelan dimainkan oleh warga Pandowoharjo,” papar Djaduk.
Puluhan ribu penonton dari berbagai kota dan mahasiswa internasional antusias menonton NgayogJazz yang berlangsung dari pukul 10 pagi hingga tengah malam. Beberapa musisi yang tampil antara lain komunitas jazz Etawa, gitaris Yuri Jo yang lama berkarya di Australia, Trie Utami bersama Kua Etnika, Syaharani dan Queenfireworks, Nita Artsen, Nia Ladies hingga pesinden populer asal Amerika Serikat Megan Collins O’Donoghue bersama kelompok Gemati. Ada pula kelompok kerawitan desa Pandowoharjo yang tampil di panggung Lokananta bersama musik rebana oleh para santri setempat.
Vokalis Trie Utami mengatakan NgayogJazz memberi wadah siapapun yang berkreatifitas musik.
“Meskipun kata jazz dan genre musik tersebut tidak berasal dari negeri ini (Indonesia) tetapi semangat dari jazz itu yang dibawa oleh NgayogJazz. Dengan semangat tersebut seolah-olah, menurut saya, adalah mencoba memberikan spirit bahwa jazz itu wadah yang bisa diisi oleh siapa saja,” ujar Trie Utami.
Trie Utami dan Kua Etnika di panggung Werkudara malam itu menghibur penonton dengan banyak improvisasi bahkan menyanyi lagu dangdut. Nia Ladies membawakan lagu daerah seperti “ilir-Ilir,” sementara Yuri Jo dan kawan-kawan membawakan lagu daerah “Es Lilin” secara instrumental dengan irama Smooth Jazz.
Panjul, penyanyi jazz yang sering disebut mirip dengan Al-Jerreau mengaku senang menyanyi jazz karena kebebasan yang ditawarkan.
“Kenapa saya suka musik jazz, karena ada kebebasan. Kebebasan kita untuk mengapresiasi apa yang ada di hati. Menurut saya NgayogJazz menjadi seperti lautan, dan air itu adalah para musisi, orang-orang yang “mengalir” menuju kesana,” tutur Panjul.
Para penonton dari luar Indonesia umumnya mengeluh terlalu banyak orang yang berdesakan di depan panggung. Tetapi Anne Gebruyn, mahasiswa keperawatan di Semarang dan berasal dari Belanda merasa tetap bisa menikmati suasana festival jazz.
“Orang-orang datang bersama-sama, tua muda semua menikmati musik, itu menyenangkan. Saya kira musik jazz untuk semua orang. Apalagi di sini gratis sehingga semua orang bisa datang. Dan saya kagum festival ini di desa di sekitar rumah penduduk dan di antara pohon-pohon besar,” kata Anne.
Menurut Kepala Desa Pendowoharjo, Catur Sarjuni Harta, NgayogJazz yang diselenggarakan di desanya telah mendorong pengembangan ekonomi kreatif warga, karena banyak yang mempersiapkan diri untuk menjual makanan, pakaian, kerajinan tangan hingga suvenir lainnya.
“NgayogJazz itu sangat tepat dijadikan model dalam mengimplementasikan ekonomi kreatif karena tetap diberikan ruang bagi masyarakat untuk berkreasi akhirnya ada pendapatan, ada pemberdayaan masyarakat dan ternyata masyarakat antusias menyambutnya,” ujar Catur.
Festival jazz itu diakhiri di panggung Werkudara Sabtu dini hari. Sebelum menutup acara, Djaduk Ferianto dan Trie Utami mengajak penonton bersama-sama menyanyikan lagu “Indonesia Tanah Pusaka” karya Ismail Marzuki. [ms/em]