Jaksa Penuntut Umum telah mengajukan tuntutan terhadap dua terdakwa kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK, Novel Baswedan, masing-masing satu tahun penjara. Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan menekankan sejak awal proses penyidikan kasus penyiraman air keras terhadap dirinya sudah banyak masalah atau keganjilan.
Dalam diskusi bertajuk "Menakar Tuntutan Jaksa Dalam kasus Novel Baswedan" yang digelar secara virtual oleh lembaga Legal Culture Institute, Senin (15/6), penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan menekankan sejak awal sudah banyak keganjilan dalam proses penyidikan kasus penyiraman air keras terhadap dirinya.
Novel menyoroti pasal 170 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang dikenakan kepada dua tersangka dalam kasusnya yakni Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette. Kepada penyidik, Novel mengatakan dengan pasal tersebut, kedua tersangka bisa bebas karena hanya menyebut satu pelaku menyerang bukan keduanya menyerang dirinya secara bersama-sama.
Pasal 170 KUHP menyatakan barang siapa dengan terang-terangan dan dengan bersama-sama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang diancam pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
Ketika itu, Novel menyarankan mestinya penyidik mengenakan pasal 340 juncto 53 KUHP yaitu percobaan pembunuhan berencana sebagai dakwaan primer dan pasal 355 ayat 2 juncto pasal 356 sebagai dakwaan subsider. Alasannya, menurut Novel, akibat penyiraman menggunakan air keras dalam jumlah banyak ia mengalami gagal nafas. Beruntung Novel segera ditolong dan mendapat air dalam waktu kurang dari 20 detik setelah diserang, dirinya bisa tertolong.
Terkait pasal 355 ayat 2 KUHP, lanjut Novel, penyiraman air keras terhadap dirinya merupakan penganiayaan berencana dan berat. Apalagi dengan status Novel sebagai aparat penegak hukum.
Namun tim jaksa penuntut umum hanya memasukkan pasal 355 dalam dakwaannya kepada Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette. Tapi dalam prosesnya kemudian, Novel mengaku heran karena dalam dakwaan pelaku disebut seolah-olah menggunakan air aki untuk menyiram mukanya.
Air keras yang disiram ke wajah Novel menyebabkan luka bakar, baunya sangat menyengat, dan saat disiram ke beton warnanya berubah dan strukturnya melepuh. Novel menegaskan fakta-fakta itu menunjukkan air yang disiram ke wajahnya bukan air aki seperti dalam dakwaan jaksa tapi air keras.
Novel menjelaskan dirinya makin melihat banyak kejanggalan sejak kasus tersebut disidangkan. Dia menyebut saksi-saksi kunci yang mengetahui sebelum dan saat peristiwa itu terjadi sama sekali tidak diperiksa. “Hanya sebagian saja saksi saat kejadian dan setelah kejadian yang diperiksa. Hal ini menjadikan saya curiga, apakah penuntutnya tidak paham atau terlewat, atau sengaja," kata Novel.
Novel pun menyampaikan kepada tim jaksa penuntut umum bahwa ada saksi-saksi lain yang harus dimintai keterangan, ada bukti-bukti lain yang tidak dimasukkan dalam berkas perkara. Tetapi hingga sidang penuntutan hal itu tidak dipenuhi.
Menurut Novel, puncak keanehan proses hukum terhadap kasus penyiraman air keras ke wajahnya itu adalah ketika kedua terdakwa, Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette, cuma dituntut hukuman satu tahun penjara, dalam sidang yang digelar Kamis pekan lalu di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Novel menilai ringannya tuntutan terhadap kedua terdakwa menunjukkan negara abai melindunginya sebagai korban, apalagi dirinya merupakan aparat penegak hukum yang diserang ketika sedang bertugas memberantas korupsi.
Novel menegaskan ada banyak manipulasi dalam proses hukum terhadap kasusnya, mulai dari penyidikan hingga penuntutan. “Adanya upaya untuk mengarahkan seolah-olah yang disiramkan ke saya adalah air aki. Ada upaya untuk membuat opini seolah-olah penyerangnya hanya dua orang dengan motif pribadi. Ada upaya untuk tidak menghadirkan saksi-saksi yang mengetahui fakta-fakta bahwa penyerang saya bukan dua orang ini, tapi terorganisir dan sistematis," kata Novel.
Asfinawati, Ketua Umum Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI) sekaligus anggota tim kuasa hukum Novel Baswedan, memberikan contoh kasus-kasus penyiraman air keras yang pelakunya mendapat hukuman berat. Dalam kasus yang menimpa Dian Wulansari alias Citra yang juga disiram air keras pada Maret 2017, tim jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Negeri Mojokerto menuntut terdakwa bernama Lamaji dengan hukuman 15 tahun penjara. Majelis hakim akhirnya memvonis pelaku 12 tahun penjara.
Kasus serupa terjadi di Bengkulu pada 2018, di mana jaksa menuntut terdakwa 10 tahun penjara dan majelis hakim memvonis 12 tahun penjara. Tahun lalu terdakwa penyiram air keras di Pekalongan dituntut delapan tahun penjara tapi divonis sepuluh tahun penjara.
Asfinawati mengaku heran ketika melihat banyak terdakwa kasus penyiraman air keras dituntut hukuman berat, tetapi kedua terdakwa dalam kasus Novel dituntut hukuman amat ringan. “Kejaksaan Agung Republik Indonesia harus mempertangungjawabkan kepada publik rencana penuntutan ini dari siapa sih? Order satu tahun (penjara) itu dari siapa?", ujar Asfinawati.
Asfinawati menyebutkan tim kuasa hukum Novel sampai sekarang meyakini kasus penyiraman air keras ke wajah kliennya tersebut adalah kejahatan terorganisir.
Asfinawati menegaskan untuk menemukan siapa dalang dan pelaku sebenarnya dalam kasus Novel Baswedan, bisa diusut dari siapa yang berupaya menghilangkan barang bukti, siapa yang melakukan disinformasi, siapa yang berupaya mendelegitimasi Novel sebagai korban, dan siapa yang mencoba membiarkan kasus ini tidak diungkap.
Dosen Hukum Pidana Universitas Indonesia, Ganjar Lesmana, penjelasan jaksa dalam sidang tuntutan bahwa kedua terdakwa tidak sengaja menyiramkan air keras ke wajah Novel berarti ingin menunjukkan jaksa gagal membuktikan penyiraman air keras tersebut dengan rencana. “Terkesan ada upaya jaksa memang ingin menurunkan pilihan pasal menjadi lebih ringan sehingga tuntutannya nanti jadi lebih ringan," tutur Ganjar.
Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Jakarta Utara, Ahmad Fatoni menjelaskan alasan tuntutan satu tahun terhadap dua terdakwa dalam kasus penyiraman Novel Baswedan dikarenakan mereka telah mengakui kesalahan dan meminta maaf serta menyesali perbuatannya termasuk kepada keluarga Novel dan Polri.
Menurut Fatoni, dua terdakwa juga tidak memenuhi unsur dakwaan primer dari penganiayaan berat yang diatur dalam pasal 355 ayat I KUHP. Keduanya disebut jaksa tidak ingin menganiaya Novel secara berat meski di luar dugaan menyebabkan cacat permanen.
Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette adalah anggota Korps Brimob Polri. Keduanya ditangkap di wilayah Cimanggis, Depok, Jawa Barat akhir Desember 2019. Novel diserang dengan air keras saat pulang berjalan kaki usai sholat subuh di Masjid dekat rumahnya. [fw/em]