Dalam catatan Kementerian Kesehatan per 2016, diperkirakan ada 640.443 orang Indonesia yang terkena HIV/AIDS. Namun, dari angka tersebut, baru 338.363 orang atau 58,7 persen yang mengetahui status penyakit mereka, per Maret 2019.
Direktur Eksekutif Rumah Cemara, Aditia Taslim, mengatakan angka ini mengkhawatirkan. Sebab, jika banyak orang tidak mengetahui status HIV-nya, bisa saja mereka menularkannya kepada orang lain.
“Kan, asumsinya kalau mereka nggak tahu mereka punya HIV, mereka punya perilaku berisiko. Mungkin lebih dari satu ya perilaku berisikonya, dan mereka nggak sadar, mereka akan tetap melakukan itu,” ujarnya kepada VOA saat ditemui di Bandung.
Rumah Cemara adalah lembaga advokasi ODHA dan rehabilitasi pecandu narkoba.
Di level global, dunia sepakat untuk mencapai kaskade pengobatan HIV/AIDS 90-90-90. Artinya, satu, 90 persen ODHA tahu status; dua, 90 persen dari mereka menjalani antiretroviral therapy (ART); dan tiga,
90 persen dari mereka mencapai supresi viral load (VL) atau menekan jumlah virus.
Di Indonesia, hanya 58,7 persen ODHA tahu status mereka. Sementara yang menjalani ART hanya 111.648 orang atau 33 persen per Desember 2018. Untuk yang mencapai supresi VL bahkan hanya 3,809 orang atau 0,6 persen per Desember 2017.
Berdasarkan persentase ODHA yang tahu status, laporan UNAIDS 2019 menyebut Indonesia hanya lebih baik dari 6 negara di Asia Pasifik, antara lain Pakistan, Bangladesh, dan Afghanistan. Sementara yang terbaik dipegang Thailand, Papua Nugini, dan Malaysia.
Mengejar target, pemerintah Indonesia meluncurkan strategi STOP atau singkatan dari Suluh Temukan Obati Pertahankan. Aditia mengatakan, pemerintah dan kelompok masyarakat sipil saat ini terus mendorong ODHA berobat.
“Itu target nasionalnya kan treatment coverage di 40 persen. Jadi minimal dari yang sudah tahu status ini, pengen dorong mereka benar-benar untuk dorong terapi,” tambahnya.
Enggan Berobat Karena Ribet dan Stigma
Berdasarkan data Kemenkes, obat ARV dapat diakses di 896 layanan seluruh Indonesia. Layanan tersedia di RS dan Puskesmas di 34 provinsi, 227 kabupaten/kota.
Namun demikian, ujar Adit, proses pengambilan obat sangat tidak praktis. Dia mencontohkan, layanan di RS Hasan Sadikin, Bandung, setiap hari dipenuhi ODHA yang mengantre. Pengambilan obat bisa mencapai 4 jam lebih. Padahal banyak ODHA yang bekerja dan terpaksa mengambil cuti. Karena prosesnya memakan waktu, kata Adit, banyak pasien yang akhirnya berhenti terapi.
Selain itu, banyak ODHA yang enggan muncul ke publik. Hal ini seiring dengan terus berlangsungnya kriminalisasi terhadap pengguna narkoba, pekerja seks, gay, dan transgender. Padahal semuanya adalah populasi kunci pengendalian HIV.
“Baik itu peraturan dari UU ITE, UU Pornografi, bahkan perda-perda di kota, perda K3. Jadi tidak ada legal protection. Dan untuk stigma dan diskriminasi, yang tidak kita punya adalah UU untuk memberi sanksi kepada pelaku stigma dan diskriminasi,” terangnya.
Awal 2015, pemerintah merancang Intervensi Pengurangan Stigma dan Diskriminasi (IPSD) untuk tenaga kesehatan. Namun, masih banyak petugas kesehatan yang memiliki stigma.
Arul, pendamping ODHA di Kota Bandung mengatakan banyak petugas kesehatan yang menghakimi ODHA lewat ceramah moral. Akibatnya pasien malas datang kembali.
“Masih ada obrolan atau bahasan di luar dari ranah medis. Misalnya mereka selalu mempermasalahkan dari penampilan teman-teman komunitas. Atau dari bagaimana teman komunitas menilai isu HIV dari sudut pandang agama, norma, dan budaya,” ujarnya dalam kesempatan terpisah.
Dalam waktu yang tinggal sedikit, Arul berharap pemerintah turun tangan lebih banyak.
“Bukan hanya pekerjaan dari teman-teman aktivis HIV aja. Tapi ini adalah tanggung jawab bersama, tanggung jawab kita semua sebagai warga Indonesia,” pungkasnya.
Dalam laporan triwulan I 2019, Kemenkes mewajibkan seluruh faskes yang memiliki dokter mengimplementasikan test and treat. Artinya, pasien langsung diberikan terapi ARV begitu diketahui positif HIV.
Kementerian Kesehatan menolak berkomentar saat dihubungi oleh VOA. [rt/jm]