Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) M Isnur menilai semua pihak perlu mencermati wacana pemberian amnesti kepada sejumlah narapidana.
“Kita harus melihat argumentasinya sekarang ini, kita perlu berhati-hati bisa jadi kalau ini tidak baik dan tidak tepat takutnya jadi backlash,” ungkapnya kepada VOA.
“Jadi pemberian amnesti ini harus diiringi dengan kebijakan penghapusan pasal-pasal karet, yang menjadi alat untuk membungkam demokrasi termasuk di dalamnya ITE, karena sebelumnya perubahan UU ITE tidak mengubah sanksi, tidak menghilangkan pasal-pasal karet. Jadi harusnya bekerjanya di hulu dengan menghilangkan pasal-pasal yang membuat terjadinya kriminalisasi,” tegas Isnur.
“Jadi kalau sekarang amnesti, tetapi nanti ditangkapin lagi ya percuma saja. Ini harus diiringi dengan kebijakan di hulunya,” tambahnya.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak kekerasan (KontraS) Dimas Bagus Arya mengapresiasi wacana pemberian amnesti kepada puluhan ribu narapidana ini. Pasalnya lembaga pemasyarakatan (lapas) di Indonesia memang sudah kelebihan kapasitas yang menjadikan kualitas dari lapas-lapas tersebut tidak baik. Meski begitu, sama halnya dengan Isnur, Dimas menekankan kepada pemerintah untuk mengatasi akar permasalahan sebenarnya yakni perbaikan regulasi yang ada.
“Problem over kriminalisasi ini yang kemudian menyumbang paling banyak jumlah napi yang harus dimasukkan dalam lapas. Sehingga ketika kebijakan ini tidak dibarengi dengan upaya melakukan deregulasi atau upaya untuk menyetop kriminalisasi maka sama saja kebijakan ini adalah kebijakan populis. Jadi, menurut kami yang juga harus dibenahi adalah bagaimana juga bisa mendorong upaya pencegahan over kriminalisasi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum,” ungkap Dimas.
Deputi Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati mengatakan bahwa rencana Prabowo memberikan amnesti kepada sekitar 44.000 narapidana harus dilaksanakan secara akuntabel dan transparan.
“ICJR pada dasarnya menyepakati segala langkah yang dilakukan atas dasar kemanusiaan dan HAM. Namun yang ICJR tekankan adalah proses pemberian amnesti tersebut harus dilakukan secara akuntabel dan transparan,” kata Maidina
Menurut dia, pemberian amnesti harus berbasis kebijakan yang bisa diakses publik sehingga dapat dinilai dan dikritisi. Teknis pemberian amnesti perlu dirumuskan dalam peraturan, setidaknya setara peraturan menteri, untuk menjamin standardisasi pelaksanaan penilaian dan pemberian amnesti.
“Penilaian juga harus berbasiskan hasil pembinaan yang memperhatikan aspek psikososial dan kesehatan,” imbuh Maidina.
ICJR sepakat mengenai pemberian amnesti bagi narapidana pengguna narkotika. Maidina menyebut, ICJR sudah menyuarakan sejak lama bahwa pengguna narkotika untuk kepentingan pribadi harus dikeluarkan dari pemenjaraan.
“Untuk menjamin keadilan, amnesti bagi pengguna narkotika harus dilegitimasi dengan pengesahan revisi Undang-Undang Narkotika yang memperkenalkan dekriminalisasi pengguna narkotika,” kata dia.
Selain itu, mengenai rencana amnesti untuk narapidana kasus penghinaan presiden, ICJR menilai kriminalisasi penghinaan presiden dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP Baru semestinya ikut dihapus.
Sementara itu, terkait narapidana yang diberi amnesti karena sakit, ICJR mengingatkan perlunya pertimbangan tentang tindak pidana yang dilakukan warga binaan tersebut. Hal ini mengingat amnesti berdampak kepada dihapuskannya hukum pidana bagi yang bersangkutan.
“Jika narapidana yang melakukan tindak pidana umum tertentu yang memang adalah perbuatan pidana dengan korban teridentifikasi, maka yang lebih tepat diberlakukan terhadap narapidana tersebut adalah grasi atau pengampunan presiden, bukan penghapusan pidana lewat amnesti,” ujarnya.
Sebelumnya, pemerintah berencana memberikan amnesti kepada 44.000 narapidana. Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas mengatakan kebijakan ini dilakukan atas dasar kemanusiaan, dan bertujuan untuk mengurangi kepadatan lapas, serta untuk mendorong rekonsiliasi di beberapa wilayah.
Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa pemberian amnesti ini mencakup beberapa kategori narapidana. Saat ini, pihaknya, juga sedang melakukan asesmen dengan Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan.
"Beberapa kasus yang terkait dengan kasus-kasus penghinaan ataupun ITE yang terkait dengan kepala negara itu, presiden meminta untuk diberi amnesti. Kemudian ada juga beberapa kasus yang terkait dengan orang yang sakit berkepanjangan," ungkap Supratman usai Rapat terbatas dengan Presiden Prabowo Subianto, di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (13/12).
Menurutnya kasus penghinaan terhadap kepala negara melalui Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) menjadi salah satu prioritas dalam pemberian amnesti. Selain itu, pemerintah juga memberikan perhatian khusus terhadap kasus-kasus ringan di Papua.
"Ada kurang lebih 18 orang, tetapi yang bukan bersenjata. Ini menjadi bagian dari upaya rekonsiliasi terhadap teman-teman di Papua," jelasnya.
Secara prinsip, ujar Supratman, Presiden Prabowo Subianto telah menyetujui pemberian amnesti kepada puluhan ribu narapidana ini. Selanjutnya, katanya, pemerintah akan meminta pertimbangan dari DPR. [gi/ab]
Forum