Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI), Prof. Unifah Rosyidi menilai keinginan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) untuk melakukan pembelajaran tatap muka pada Juli mendatang belum dipersiapkan dengan baik.
Unifah menjelaskan, hal ini terlihat dari berbagai aspek, termasuk jangkauan vaksinasi COVID-19 kepada guru per 31 Mei yang baru 28 persen. Pihaknya, kata Unifah, sebenarnya berharap dengan usaha vaksinasi terhadap tenaga pendidik, penerapan protokol kesehatan, serta perbaikan infrastruktur dan tata kelola pendidikan, sistem pembelajaran tatap muka bisa dimulai Juli nanti.
“Faktanya itu masih jauh. Sosialisasi dan simulasi baru sekian persen, lalu kita mau coba masukkan semua? Menurut saya gak bisa dipaksakan begitu. Jadi kalau ditanya, gak bisa dipaksakan. Kenapa? Pemerintah sendiri mengatakan yang boleh (memutuskan) masuk sekolah tatap muka itu adalah orang tua, tiba-tiba sekarang Menterinya ingin bahwa semua harus masuk sekolah, ini sangat berbahaya menurut saya, tergesa-gesa dan resikonya terlalu besar,” ungkap Unifah ketika dihubungi VOA, di Jakarta, Rabu (9/6).
Ia berharap Kemendibud Ristek dapat menjalankan amanat Presiden Joko Widodo yang menginsruksikan hanya sekolah yang sudah siap secara maksimal dari segala aspek yang akan dibuka, dan itupun dilakukan secara sangat terbatas.
“Jadi kalau singkat kata, bahwa seharusnya bulan Juli tidak dipaksakan untuk semua anak-anak masuk, tidak boleh dipaksakan untuk semua, atas alasan apapun karena keselamatan dan keamanan siswa dan guru adalah segala-galanya di luar dari konteks yang lain-lain,” katanya.
Pemerintah, ujar Unifah, juga harus memperbaiki sarana dan pra sarana pendidikan.. Pasalnya selama satu tahun lebih dilakukan sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ) banyak siswa yang putus belajar karena beberapa hal sederhana yang seharusnya tidak terjadi, seperti ketersediaan alat untuk belajar online atau kesulitan mendapatkan jaringan internet.
“Tidak ada bahan, jadi bukan putus sekolah tapi putus belajar. Kan bahaya putus belajar itu. Putus belajar ini menyebabkan anak-anak terdaftar di sekolah tapi sesungguhnya tidak belajar. Itu banyak sekali, boleh di cek,” tuturnya.
Sejauh ini, menurutnya, sekolah yang sudah siap melakukan pembelajaran secara langsung hanya sekolah yang sudah melakukan simulasi. Prosentasenya hanya mencapai 30 persen dan mayoritas berada di Pulau Jawa. Selain itu, ia juga tidak yakin bahwa anak-anak bisa menerapkan protokol kesehatan dengan baik dan benar, mengingat saat ini pun banyak orang dewasa yang tidak disiplin dalam hal tersebut.
Pendapat Orang Tua Murid
Juru Bicara Forum Orang Tua Murid DKI Jakarta Dewi Julia mengatakan sebenarnya pihak orang tua murid tidak keberatan dengan sistem pembelajaran tatap muka yang akan berlangsung pada Juli nanti, asalkan persiapan dari pihak sekolah sudah memadai. Ia mengakui , memang ada sebagian dari kalangan orang tua yang masih khawatir untuk anaknya pergi ke sekolah secara langsung mengingat perkembangan kasus COVID-19 di Indonesia sama sekali belum melandai.
“Walaupun beberapa arahan dari sekolah saya melihat sudah ada arahan yang baik dan juga sudah ada standarisasi yang baik, seperti apa seharusnya sekolah itu menerapkan rencana untuk pendidikan tatap muka ini," ujar Dewi kepada VOA.
"Tetapi kenyataannya di lapangan belum tentu semua sekolah itu bisa menerapkannya karena ketersediaan dana terutama untuk sekolah negeri. Untuk sekolah swasta saya melihat kesiapannya sudah lebih bagus. Saya rasa peran pemerintah sangat besar sekali untuk mungkin perlu sidak ke beberapa sekolah melihat kesiapannya seperti apa, karena Juli sebentar lagi," paparnya.
Lebih lanjut, Dewi menjelaskan bahwa selama satu tahun lebih melakukan sistem PJJ membuat sebagian orang tua kewalahan dalam mengawasi dan mengarahkan anak mereka untuk belajar di rumah. Maka dari itu, banyak orang tua berharap sistem belajar dengan tatap muka ini dapat dijalankan dengan sebaik-baiknya agar tidakmenciptakan klaster-klaster baru virus corona di lingkungan sekolah.
Menurutnya, beberapa sekolah sudah mulai memanggil orang tua untuk dilakukan sosialisasi sebelum siswa benar-benar belajar pada Juli nanti. Hal ini perlu dilakukan sebelum nantinya para orang tua menandatangani surat persetujuan agar anak-anaknya kembali belajar secara langsung. Terkait simulasi belajar tatap muka, Dewi mengaku tidak mengetahui hal tersebut dengan pasti. Pasalnya simulasi tersebut tidak melibatkan semua siswa.
“Rencana saya akan datang ke sekolah dengan teman-teman untuk melihat persiapannya seperti apa sebelum menandatangani surat persetujuan orang tua apakah menyetujui anaknya masuk sekolah atau tidak. Sebelum itu, kami ingin memastikan dulu apakah betul persiapannya seperti apa. Kalau dari kami sih sebenarnya anak-anak sudah antusias untuk bisa masuk, tapi kalau saya lihat memang orang tua yang khawatir,” tuturnya.
Syarat Ketat Pembukaan Sekolah
Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aman B. Pulungan juga mengatakan bahwa pembukaan sekolah ini harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Pasalnya jumlah kasus COVID-19 pada anak di Indonesia sampai saat ini sudah mencapai kurang lebih 100 ribu. Dari jumlah itu, yang meninggal paling banyak adalah anak-anak yang berusia di bawah lima tahun, dan diikuti dengan kelompok anak pada usia 10-18 tahun.
Menurutnya, pemerintah harus menjamin kesehatan dan keselamatan anak dan tenaga pendidik. Ia menyarankan sekolah-sekolah memberlakukan sistem bubble, yang arti sederhananya adalah satu kelas maksimal terdiri dari 10 murid yang sama dengan satu guru tetap.
“Dan gurunya sudah harus diimunisasi dan seluruhnya sebelum sekolah harus di swab PCR. Saya tidak mau itu ditawar-tawar menjadi rapid ataupun antigen. Setelah itu, saya tanya sudah adakah orientasi dilakukan di sekolah? Saya belum dengar ada tuh,” ungkap Aman ketika melakukan Instagram Live bersama dr Ninggar di Jakarta, Minggu (6/6).
Orientasi kepada para murid dan orang tua ini kata Aman penting untuk diberikan agar masing-masing pihak dapat mengetahui panduan bersekolah dengan sistem tatap muka pada masa pandemi COVID-19. Menurutnya, ini penting agar generasi penerus bangsa ini bisa mengejar ketertinggalannya dalam hal akademis, namun tidak membahayakan diri. Aman juga menekankan, sekolah-sekolah bisa menjalankan sistem pembelajaran tatap muka sepanjang berada di lokasi dengan positivity rate di bawah lima persen.
“Seluruh dinas kesehatan bantu dong, mulai sekarang testingnya dinaikkin. Saya dari awal mengatakan testing, tracing, ini tidak bisa didiskon. Gak ada paket hemat untuk ini,” pungkasnya. [gi/ab]