Catatan mengenai kesejahteran yang diabaikan, kekerasan bersenjata, dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua datang silih berganti. Sebuah buku berjudul “Tindakan Politik Bagi Papua” ditulis sebagai sebuah tawaran solusi.
Penulis buku ini, Pastor Alexandro Rangga OFM, menempatkan politik sebagai judul karena dia menilai isu ini menjadi akar berbagai persoalan.
“Tanpa mengabaikan aspek-aspek lain, seperti sosial, ekonomi, budaya, oleh banyak pihak, aspek politik itu kami nilai sebagai sumber akar masalah di Papua, dan dapat dikatakan bahwa apapun persoalannya, ada ekonomi, sosial, ujung-ujungnya orang akan berbicara tentang politik,” papar Alexandro.
Alexandro berbicara dalam peluncuran sekaligus diskusi buku secara daring yang digelar Jumat (9/4) petang. Imam Fransiskan ini mengakui sudah ada cukup upaya pemerintah dalam menyelesaikan persoalan Papua. Dia menyebut daftarnya, mulai otonomi khusus, komunikasi konstruktif, dialog Jakarta-Papua, hingga program pembangunan dari timur oleh Presiden Jokowi. Ada pula program khusus, seperti penanggulangan bencana kelaparan dan gizi buruk di Asmat, pemerataan harga barang-barang ekonomi seperti bahan bakar dan semen, juga pembangunan jalan dan jembatan.
Dia menekankan, hasil dari upaya itu sudah bisa dilihat.
Namun, Alexandro juga memberikan kritik, menyikapi pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD beberapa waktu lalu. Ketika itu Mahfud mengatakan bahwa pemerintah tidak akan melakukan perubahan kebijakan dalam menyelesaikan konflik di Papua.
“Artinya pemerintah akan tetap menggunakan pendekatan kesejahteraan, memperkuat koordinasi. Sayangnya, pendekatan ini disertai pengiriman aparat keamanan. Pendekatan kesejahteraan berpakaian aparat ini, telah dikritik banyak pihak sebagai pendekatan kontra produktif,” ucap Alexandro.
Dia sependapat bahwa Papua tidak membutuhkan kebijakan baru. Namun, di sisi lain Alexandri mendorong pengakuan jujur, bahwa ada yang salah dengan implementasi kebijakan di Papua. Hingga saat ini, tidak ada jaminan berakhirnya tindakan anarkis, baik dari kelompok kriminal bersenjata, maupun tindakan kekerasan yang berujung pelanggaran HAM oleh aparat keamanan.
Mengkritisi yang Terjadi
Akademisi dari Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur Jayapura, Pastor Prof Nico Syukur Dister OFM, menyebut tiga aspek perlu diperhatikan terkait Papua. Ketiganya adalah berpikir kritis, bertindak demi kesejahteraan dan selalu melahirkan hal baru.
Nico mendorong seluruh pihak berpikir kritis, sehingga masyarakat Papua dan pemerintah Indonesia tidak menerima begitu saja, apa yang dikabarkan terjadi di Papua, tanpa berupaya mengkajinya.
“Untuk diingat, bahwa masing-masing pihak, TPN-OPM dan TNI-Polri, menggambarkan yang terjadi di Papua, menurut kacamata mereka sendiri, dan bukan menurut fakta yang nyata,” kata Nico.
Selain itu, berpikir kritis juga bermakna mau mendengar pendapat pihak yang berbeda. Apa yang terjadi saat ini, kata Nico, pemerintah tidak ada berminat mendengar laporan para saksi terkait apa yang sebenarnya terjadi di lapangan. Pemerintah tidak menghiraukan laporan Komnas HAM, Amnesty Internasional dan mendengar sumbangan pikiran para aktivis keadilan dan perdamaian. Sebaliknya, pihak yang memiliki aspirasi merdeka, tidak mau menanggapi pandangan para pembela NKRI.
Nico juga menyoroti ironi terkait pernyataan soal tindakan demi kesejahteraan umum, yang membuktikan bahwa sudut pandang terkait ini pada kedua belah pihak justru bertentangan.
“Pihak Jakarta akan berpendapat, bahwa jika mereka bertindak demi NKRI harga mati, maka tindakan itu demi kesejahteraan umum orang Indonesia. Sedangkan pihak lawan, akan memandang perjuangan demi kemerdekaan Papua, sebagai tindakan demi kesejahteraan umum, oleh orang Papua,” tambah Nico.
Problem ketiga, papar Nico, adalah soal terobosan-terobosan baru di tengah pertentangan antara Jakarta dan Papua. Jalan keluar lama, sudah jelas tidak mampu mendamaikan kedua belah pihak. Ironisnya sejauh ini terobosan baru juga belum bisa diterima secara seimbang, oleh keduanya.
“Untuk dapat diterima harus ada good will. Political will pada kedua pihak, untuk mengubah harga mati, menjadi harga tawar. Dan sampai sekarang political will itu tidak tampak,” ujar Nico.
Pendidikan Sejarah Papua
Sementara, Leo Imbiri, Sekretaris Umum Dewan Adat Papua, memandang penting adanya pengakuan bahwa memang ada permasalahan di Papua yang harus diselesaikan.
“Menurut saya, ada sikap dari kedua belah pihak, baik Papua maupun Jakarta untuk mengabaikan satu nilai, yaitu pengakuan terhadap persoalan-persoalan mendasar di Papua, yaitu persoalan status politik dan cara-cara yang manusiawi dalam rangka penyelesaian persoalan Papua,” katanya.
Dua hal penting dalam mengurai masalah di Papua, adalah permohonan maaf dan janji untuk masa depan lebih baik. Namun, menurut Leo, kata maaf yang berulang disampaikan selama ini tidak diikuti oleh tindakan yang diperlukan, agar permaafan itu berdampak. Karena itulah, dia setuju pentingnya upaya terus-menerus penyelesaian masalah Papua, tetapi dalam kerangka Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Dalam kerangka itulah, Leo mengingatkan pentingnya orang Papua sendiri memahami sejarah mereka.
“Dalam kaitan dengan proses perjalanan sejarah kita, saya pikir pemerintah daerah, terutama pada zaman Gubernur Barnabas Suebu, pernah diupayakan menjadikan sejarah Papua sebagai bagian dari kurikulum pendidikan,” ujarnya.
Leo memandang penting peran institusi pendidikan swasta di Papua yang merdeka dalam menyusun kurikulum untuk mengawali upaya pembelajaran sejarah tersebut. Dia menilai, sejarah Papua dalam kurikulum pendidikan menjadi satu aspek penting dalam kerangka terkait permaafan masa lalu dan janji masa depan itu, tidak hanya bagi orang papua tetapi juga masyarakat Indonesia. [ns/ah]