Badan legislatif Hong Kong mengesahkan RUU Perlindungan Keamanan Nasional dalam sesi khusus pada hari Selasa. Legislasi ini merupakan kelanjutan dari undang-undang serupa yang diberlakukan oleh China empat tahun lalu, yang sebagian besar telah membungkam suara-suara oposisi di pusat keuangan tersebut.
Paket tersebut, yang dikenal sebagai Pasal 23, menghukum pelanggaran termasuk pengkhianatan, sabotase, penghasutan, pencurian rahasia negara, campur tangan eksternal dan spionase dengan hukuman mulai dari beberapa tahun hingga penjara seumur hidup.
Mengenai lolosnya RUU tersebut, Ketua Dewan Legislatif Hong Kong, Andrew Leung, mengatakan, “Semua anggota telah bekerja keras untuk mempelajari dengan seksama RUU ini, dan konsensusnya adalah memberikan suara mendukung. Saya merasa bahwa ulasan sempurna ini layak mendapat dukungan saya, mencapai angka sempurna 89 suara. Persetujuan dengan suara bulat dari 89 suara ini merupakan momen bersejarah.”
Dewan Legislatif Hong Kong, yang dipenuhi oleh loyalis Beijing setelah adanya perombakan undang-undang pemilu, mempercepat undang-undang tersebut untuk mendapatkan persetujuan. Sejak RUU tersebut diumumkan pada tanggal 8 Maret, sebuah komite mengadakan pertemuan harian selama seminggu, menyusul seruan dari kepala eksekutif Hong Kong John Lee untuk mendorong undang-undang itu “dengan kecepatan penuh.”
“Hari ini menandai momen bersejarah bagi Hong Kong, momen yang ditunggu-tunggu selama 26 tahun, 8 bulan, dan 19 hari. Ini adalah momen bersejarah ketika Pemerintahan Daerah Administratif Khusus keenam dan Dewan Legislatif ketujuh akhirnya menyelesaikan misi gemilangnya. Ini merupakan momen yang membanggakan dalam sejarah kejayaan Daerah Administratif Khusus Hong Kong.”
Setelah pemungutan suara, Lee mengatakan bahwa undang-undang itu akan mulai berlaku pada hari Sabtu (23/3).
Menanggapi undang-undang tersebut, Menteri Luar Negeri Inggris David Cameron mengatakan, “Dampak keseluruhan dari undang-undang keamanan nasional Hong Kong yang baru diloloskan ini adalah undang-undang tersebut akan semakin merusak hak dan kebebasan yang dinikmati di kota itu.”
“Undang-undang ini melemahkan implementasi kewajiban internasional yang mengikat Hong Kong termasuk Deklarasi Bersama China-Inggris dan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik,” tambah Cameron.
Para kritikus, termasuk pemerintah AS, mengatakan undang-undang tersebut akan semakin mempersempit kebebasan, dan dapat digunakan untuk “menghilangkan perbedaan pendapat karena rasa takut akan penangkapan dan penahanan.”
Mereka khawatir undang-undang ini akan semakin mengikis kebebasan sipil yang dijanjikan Beijing akan dipertahankan selama 50 tahun ketika bekas jajahan Inggris itu kembali ke pemerintahan China pada tahun 1997.
Undang-undang ini mengancam akan memberikan hukuman yang berat untuk berbagai tindakan yang oleh pihak berwenang disebut sebagai ancaman terhadap keamanan nasional, dan pelaku aksi yang dianggap sebagai pelanggaran berat – termasuk pengkhianatan dan pemberontakan – dapat dikenai hukuman penjara seumur hidup.
Situasi politik Hong Kong telah berubah secara dramatis sejak protes di jalan-jalan secara besar-besaran pada tahun 2019 yang menentang kekuasaan China atas wilayah semi-otonom tersebut, dan penerapan Undang-Undang Keamanan Nasional Beijing.
Banyak aktivis terkemuka telah diadili, sementara yang lain melarikan diri ke luar negeri.
Media pro-demokrasi yang berpengaruh seperti Apple Daily dan Stand News ditutup. Tindakan keras tersebut memicu eksodus para profesional muda dan keluarga-keluarga kelas menengah yang kecewa ke AS, Inggris, Kanada, dan Taiwan.
Para pengusaha dan jurnalis telah menyatakan kekhawatiran mereka bahwa undang-undang yang melarang pengungkapan rahasia negara dan campur tangan asing itu akan mempengaruhi usaha dan cara kerja mereka sehari-hari.
Para pengamat juga mencermati kemungkinan bahwa dengan undang-undang ini pihak berwenang akan memperluas penegakan hukum ke berbagai sektor profesi lainnya. [lt/ka]
Forum