Kerabat dari sekitar 180 pengungsi Rohingya di atas kapal yang terkatung-katung di Samudera Hindia selama berpekan-pekan menganggap bahwa semua yang ada di kapal itu sekarang sudah meninggal, kata badan pengungsi PBB, UNHCR.
Ribuan Rohingya yang sebagian besar Muslim, dianiaya berat di Myanmar, melakukan perjalanan laut yang berisiko dari Myanmar dan kamp-kamp pengungsi di Bangladesh setiap tahun untuk mencapai Malaysia atau Indonesia.
Kapal terbaru ini diperkirakan berangkat bulan lalu dan dilaporkan berlayar dekat Thailand, Malaysia, Kepulauan Andaman, dan Selat Malaka, salah satu rute pelayaran tersibuk di dunia.
"Keluarga kehilangan kontak. Mereka yang terakhir berhubungan menganggap semuanya sudah meninggal. Kami berharap ini tidak terjadi," kata UNHCR dalam cuitannya di Twitter, Minggu (25/12).
"Jika benar, ini akan menjadi berita yang menyedihkan. Hati kami tertuju kepada semua keluarga yang akan kehilangan orang-orang yang dicintai dalam tragedi yang mengejutkan ini. Kami mengulang permohonan kami kepada negara-negara di kawasan ini untuk membantu menyelamatkan nyawa. Ini harus menjadi prioritas."
Pekan lalu Noor Habi, seorang penduduk kamp pengungsi Rohingya di Bangladesh, mengatakan putrinya yang berusia 23 tahun, Munuwara Begum, berada di atas kapal itu dan telah berbicara dengan saudara perempuannya melalui walkie-talkie.
"Kami dalam bahaya. Tolong selamatkan kami," kata Begum, menurut klip audio panggilan tersebut.
"Tidak ada makanan dan air di sini, dan tidak ada yang menyelamatkan kami dari kapal yang tenggelam ini," katanya.
Pada hari Minggu, kapal lain – yang ketiga dalam beberapa bulan terakhir – dengan mesin rusak dan membawa 57 pengungsi Rohingya mendarat di pantai barat Indonesia setelah sebulan di laut, kata polisi.
Pekan lalu, 104 pengungsi Rohingya lainnya dilaporkan diselamatkan dari kapal lain di lepas pantai Sri Lanka, ratusan kilometer dari Myanmar di sisi lain Teluk Benggala.
Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) bulan ini mendesak negara-negara di kawasan itu "untuk berupaya keras dan bersama-sama menghindari terulangnya krisis 2015 ketika ribuan pria, wanita, dan anak-anak yang menghadapi kesulitan luar biasa dalam mengakses perawatan dan dukungan yang menyelamatkan jiwa akhirnya kehilangan nyawa di laut".
"Pemerintah-pemerintah dan mitra-mitra mereka telah bekerja sama sebelumnya untuk mengatasi masalah ini di tingkat regional. Mengingat kehidupan dan keselamatan para pengungsi yang terancam, di tangan para penyelundup, kami sekali lagi menyerukan tindakan regional yang mendesak," kata organisasi itu. [ab/uh]
Forum