Para diplomat menyatakan resolusi itu tidak sampai pada pencantuman Bab Tujuh Piagam PBB yang mengizinkan pengerahan militer.
Sejak merebut kekuasaan awal bulan ini, kelompok Houthi telah membubarkan parlemen dan mendirikan badan pemerintahan sendiri. Mereka menyatakan melakukan “revolusi” terhadap para pejabat yang korup dan ekonomi yang hancur. Presiden dan menteri-menterinya masih berada di bawah tahanan rumah oleh pemberontak.
Hari Sabtu (14/2), puluhan ribu warga Yaman memprotes pengambilalihan negara mereka oleh gerakan Muslim Syiah Houthi. Di Ibb, kota di Yaman Tengah, kawanan Houthi bersenjata melepaskan tembakan ke arah demonstran, sehingga melukai empat orang.
Rancangan resolusi yang diperoleh kantor berita Associated Press menuntut para pemberontak Syiah Houthi segera dan tanpa syarat menarik pasukannya dari lembaga-lembaga pemerintahan, membebaskan Presiden dukungan Amerika Abed Rabbo Mansour Hadi dan kabinetnya dari tahanan rumah, dan terlibat dalam pembicaraan perdamaian yang dipimpin PBB.
Namun rancangan itu tidak sesuai keinginan negara-negara Arab yang tergabung dalam Dewan Koordinasi Teluk.
Khawatir bahwa Iran yang mayoritas penduduknya Syiah akan mendukung pemberontak, negara-negara Muslim yang mayoritas penduduknya Sunni di Dewan itu menuntut resolusi yang mengecam Houthi dan memberlakukan tindakan sesuai Bab 7 Piagam PBB, yang artinya membenarkan tindakan militer jika diperlukan.
Rancangan itu dibuat hanya dua hari setelah Sekjen PBB Ban Ki-moon mengatakan kepada Dewan Keamanan bahwa Yaman sedang mengalami keruntuhan. Yordania dan Inggris dengan segera mulai merancang resolusi itu.
Sedikitnya sembilan negara, termasuk Amerika, telah menutup kedubes mereka di Yaman dalam beberapa hari terakhir di tengah-tengah kekhawatiran Houthi akan merebut lebih banyak wilayah, dan bahwa cabang al-Qaida yang paling berbahaya di dunia dan berbasis di Yaman akan memperkeruh kekacauan. Kelompok Houthi dan kelompok militan Sunni dari cabang al-Qaida bermusuhan sengit.