Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan keterlambatan dalam penerapan perjanjian damai 2015 di Mali mengkhawatirkan. Pernyataan itu tercantum dalam dokumen yang beredar setelah pembicaraan politik nasional negara itu berakhir tanpa solusi yang jelas.
Guterres menekankan, "ketidakpastian terus terjadi," dalam laporan triwulanan tentang Mali, yang didistribusi ke anggota Dewan Keamanan PBB dan dibaca oleh kantor berita AFP, Kamis (2/1/2020).
Ketidakpastian itu, kata Guterres, menyusul proses dialog yang mencakup seruan untuk pemilu baru tetapi gagal memberi solusi yang jelas bagi negara itu, terutama karena kelompok oposisi memboikot inisiatif tersebut.
Mali mengalami konflik jihad yang sangat meletihkan, di mana kekerasan menyebar dari utara ke tengah negara itu, merenggut ribuan nyawa. Perjanjian damai 2015 dimaksudkan untuk melucuti kelompok pemberontak dan mengintegrasikan mereka ke dalam tentara nasional. Namun, inisiatif itu tidak berlaku.
Kematian tentara Mali naik sebesar 116 persen antara Oktober dan Desember dibandingkan tiga bulan sebelumnya, menurut laporan yang mengatakan 193 orang meninggal. Sementara itu, 68 serangan terhadap misi PBB terjadi dalam periode yang sama, dibandingkan 20 serangan dalam tiga bulan sebelumnya.
Presiden Mali Ibrahim Boubacar Keita berharap pertemuan antara wakil-wakil kelompok politik dan bersenjata pada Desember untuk apa yang disebut "dialog inklusif nasional" akan merekonsiliasi kelas politik Mali yang terpecah. Tetapi, sebagian besar kelompok oposisi negara itu mengecam hal itu, dengan alasan tidak mempercayai presiden.[ka/ii]