JAKARTA —
Persoalan kekerasan atas nama agama kembali menjadi sorotan. Laporan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang disusun Pelapor Khusus PBB Maina Kiai hari Senin (9/6) menyatakan performa Indonesia masih buruk dalam menjamin kebebasan untuk berkumpul dan berserikat terutama yang dialami kelompok minoritas agama di Indonesia.
Sebelumnya persoalan kekerasan atas nama agama juga pernah menjadi perhatian serius oleh sejumlah negara pada Sidang Universal Periodic Review(UPR) beberapa waktu lalu.
Direktur Eksekutif Human Rights Working Group (HRWG) Refendi Djamin, Selasa mengatakan laporan PBB itu merupakan peringatan buat pemerintah Indonesia. Menurutnya pemerintah harus memperhatikan perlindungan terhadap kelompok minoritas.
Dia menilai pemerintah selama ini menganggap kasus kebebasan beragama dan berkeyakinan yang sering terjadi bukan menjadi permasalahan yang serius karena tidak ada tindakan tegas terhadap kelompok intoleran yang melakukan kekerasan kepada kelompok minoritas.
Sekarang ini lanjutnya Indonesia sedang mengalami darurat nasional soal kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Kasus Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin di Bogor contohnya di mana jemaatnya tidak dibolehkan berkumpul untuk beribadah padahal Mahkamah Agung telah mengeluarkan putusan bahwa bangunan GKI Yasmin legal. Meski demikian sejak tahun 2010 hingga kini gereja itu masih disegel dan jemaatnya dilarang beribadah.
Refendi Djamin mengatakan, "Kebhinekaan kita itu terancam. Yang kedua, kenapa dunia internasional begitu besar perhatiannya walaupun kita tidak seperti negara di central Afrika, kejadian di Nigeria dan Boko Haram tetapi karena orang melihat Indonesia itu punya harapan besar menjadi sebuah kekuatan demokrasi di dunia di mana bisa berbasiskan kepada kebhinekaan jadi harapan besar itulah yang ada pada kita."
Djamin menambahkan permasalah kebebasan beragama dan berkeyakinan yang menjadi sorotan di dunia internasional dapat menurunkan kredibilitas Indonesia sebagai negara demokrasi dan menghargai HAM.
Untuk itu siapapun calon presiden dan wakil presiden yang terpilih nanti tambahnya diharapkan mempunyai agenda yang tegas dan jelas dalam menyelesaikan masalah perlindungan terhadap kelompok minoritas agama.
"Menyelesaikan revisi Undang-undang tentang penodaan agama nah untuk sementara kalau revisi belum ada yah keluarkan saja perpu dulu nah nanti perpu itu yang akan menjadi Undang-undang yang berlaku. Kedua, kasus GKI Yasmin, sudah ada keputusan Mahkamah Agung soal hak untuk pendirian rumah ibadah lakukan saja serta lakukan pengamanan dan pencegahan penyerangan-penyerangan. Jadi agenda perlindungan kelompok minoritas itu diseriuskan dalam sebuah agenda 5 tahun ke depan," ujar Djamin.
Sementara, juru bicara Presiden Julian Aldrin Pasha mengakui masih adanya gesekan atau perselisihan yang terjadi di masyarakat terkait toleransi beragama, tetapi menurutnya jumlah perselisihan itu tidak banyak.
Menurut Julian, SBY telah berjasa memberikan ruang yang besar dalam kehidupan toleransi beragama di negara yang majemuk ini. Presiden, lanjut Julian tidak lepas tangan terkait persoalan yang ada di masyarakat.
"Apakah ada tempat lain yang lebih menjanjikan kebebasan dalam hal kehidupan beragama sebaik di Indonesia, Kita bisa lihat kebebasan beragam di kita sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 itu betul-betul dijalankan dan dikelola oleh negara sesuai dengan apa yang seharusnya dilakukan. Negara tetap hadir didalam untuk menyelesaikan perselisihan," kata Julian.
Sebelumnya persoalan kekerasan atas nama agama juga pernah menjadi perhatian serius oleh sejumlah negara pada Sidang Universal Periodic Review(UPR) beberapa waktu lalu.
Direktur Eksekutif Human Rights Working Group (HRWG) Refendi Djamin, Selasa mengatakan laporan PBB itu merupakan peringatan buat pemerintah Indonesia. Menurutnya pemerintah harus memperhatikan perlindungan terhadap kelompok minoritas.
Dia menilai pemerintah selama ini menganggap kasus kebebasan beragama dan berkeyakinan yang sering terjadi bukan menjadi permasalahan yang serius karena tidak ada tindakan tegas terhadap kelompok intoleran yang melakukan kekerasan kepada kelompok minoritas.
Sekarang ini lanjutnya Indonesia sedang mengalami darurat nasional soal kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Kasus Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin di Bogor contohnya di mana jemaatnya tidak dibolehkan berkumpul untuk beribadah padahal Mahkamah Agung telah mengeluarkan putusan bahwa bangunan GKI Yasmin legal. Meski demikian sejak tahun 2010 hingga kini gereja itu masih disegel dan jemaatnya dilarang beribadah.
Refendi Djamin mengatakan, "Kebhinekaan kita itu terancam. Yang kedua, kenapa dunia internasional begitu besar perhatiannya walaupun kita tidak seperti negara di central Afrika, kejadian di Nigeria dan Boko Haram tetapi karena orang melihat Indonesia itu punya harapan besar menjadi sebuah kekuatan demokrasi di dunia di mana bisa berbasiskan kepada kebhinekaan jadi harapan besar itulah yang ada pada kita."
Djamin menambahkan permasalah kebebasan beragama dan berkeyakinan yang menjadi sorotan di dunia internasional dapat menurunkan kredibilitas Indonesia sebagai negara demokrasi dan menghargai HAM.
Untuk itu siapapun calon presiden dan wakil presiden yang terpilih nanti tambahnya diharapkan mempunyai agenda yang tegas dan jelas dalam menyelesaikan masalah perlindungan terhadap kelompok minoritas agama.
"Menyelesaikan revisi Undang-undang tentang penodaan agama nah untuk sementara kalau revisi belum ada yah keluarkan saja perpu dulu nah nanti perpu itu yang akan menjadi Undang-undang yang berlaku. Kedua, kasus GKI Yasmin, sudah ada keputusan Mahkamah Agung soal hak untuk pendirian rumah ibadah lakukan saja serta lakukan pengamanan dan pencegahan penyerangan-penyerangan. Jadi agenda perlindungan kelompok minoritas itu diseriuskan dalam sebuah agenda 5 tahun ke depan," ujar Djamin.
Sementara, juru bicara Presiden Julian Aldrin Pasha mengakui masih adanya gesekan atau perselisihan yang terjadi di masyarakat terkait toleransi beragama, tetapi menurutnya jumlah perselisihan itu tidak banyak.
Menurut Julian, SBY telah berjasa memberikan ruang yang besar dalam kehidupan toleransi beragama di negara yang majemuk ini. Presiden, lanjut Julian tidak lepas tangan terkait persoalan yang ada di masyarakat.
"Apakah ada tempat lain yang lebih menjanjikan kebebasan dalam hal kehidupan beragama sebaik di Indonesia, Kita bisa lihat kebebasan beragam di kita sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 itu betul-betul dijalankan dan dikelola oleh negara sesuai dengan apa yang seharusnya dilakukan. Negara tetap hadir didalam untuk menyelesaikan perselisihan," kata Julian.