TRIPOLI —
Ketika Libia di bawah Moammar Gadhafi keadaan sudah buruk. Kaum lelaki sering melakukan pelecehan seksual. Mereka menggoda, menyenggol, meraba dan mengganggu perempuan di toko, universitas, kantor, di mana saja. Tetapi sejak Gadhafi terguling tahun lalu, pelecehan semakin buruk, kata para aktivis dan perempuan biasa.
Anne warganegara Inggris sudah tinggal di Libya sejak tahun 1965. VOA hanya menggunakan nama kecilnya karena para aktivis khawatir dia akan menjadi sasaran.
“Sekarang keadaannya memburuk. Ketika saya pertama datang ke Libia saya mengalami sedikit sekali pelecehan. Pada umumnya, anak-anak muda sangat hormat dan ramah,” aku Anne.
Keluarga Gadhafi dan para pejabat tingginya terkenal dengan perlakuannya yang jahat terhadap perempuan. Perempuan akan diambil dari rumah-rumah mereka setelah terlihat dalam acara-acara sosial, menurut sebuah buku yang diterbitkan baru-baru ini, berjudul “Gaddafi’s Harrem”, karya jurnalis surat kabar Le Monde, Annick Cojean.
Tingkah laku itu menyebar luas dalam masyarakat, meyakinkan para laki-laki untuk berkuasa melampaui batas, yang menjadikan perempuan sebagai sasaran pelecehan, seperti kata Nisreen.
“Zaman Ghadafi banyak terjadi pelecehan seksual dan generasi penduduk sekarang dibesarkan dengan keadaan itu,” kata Nisreen.
Katanya, pelecehan seksual paska revolusi di Ibukota Libya dan kota-kota besar telah meningkat dan sekarang berada pada tingkat yang berbeda, dengan pelanggaran hukum yang terjadi membuat negara itu lebih berbahaya.
Pergi ke luar rumah sendirian atau bahkan bersama teman perempuan pun beresiko menjadi sasaran pelecehan secara lisan dan kadang-kadang secara fisik, katanya. Bahkan berbelanja pun merupakan derita.
“Ada anak-anak muda yang menggunakan obat terlarang dan meminum arak lalu berkeliaran dan kalau melihat perempuan yang mereka sukai mulailah mereka goda dan lecehkan,” papar Nisreen.
Libya bukan satu-satunya negara di Timur Tengah yang mengalami meningkatnya pelecehan seksual setelah pergolakan Arab.
Dalam bulan Mei di Entitas PBB untuk Persamaan Hak melaporkan bahwa 99,3 persen perempuan Mesir mengalami bentuk pelecehan seksual atau tindak kekerasan. Hampir 50 persen perempuan melaporkan bertambah banyak pelecehan setelah revolusi yang menggulingkan Presiden Hosni Mubarak.
Tanpa angkatan kepolisian yang benar-benar melakukan tugasnya tidak akan ada statistik untuk mengetahui berapa sering pelecehan itu terjadi di Timur Tengah.
Tetapi para aktivis di Libya mengatakan, keadaan itu bisa merembes, dan perempuan tidak berani melaporkannya karena takut akan dilecehkan oleh polisi kalau mereka mengadu.
Para aktivis yang marah karena pelecehan itu mengikuti sebuah contoh yang diterapkan di Mesir dan meluncurkan situs web untuk mencatat insiden-insiden dan guna mendesak pihak berwenang Libya agar bertindak.
Anne warganegara Inggris sudah tinggal di Libya sejak tahun 1965. VOA hanya menggunakan nama kecilnya karena para aktivis khawatir dia akan menjadi sasaran.
“Sekarang keadaannya memburuk. Ketika saya pertama datang ke Libia saya mengalami sedikit sekali pelecehan. Pada umumnya, anak-anak muda sangat hormat dan ramah,” aku Anne.
Keluarga Gadhafi dan para pejabat tingginya terkenal dengan perlakuannya yang jahat terhadap perempuan. Perempuan akan diambil dari rumah-rumah mereka setelah terlihat dalam acara-acara sosial, menurut sebuah buku yang diterbitkan baru-baru ini, berjudul “Gaddafi’s Harrem”, karya jurnalis surat kabar Le Monde, Annick Cojean.
Tingkah laku itu menyebar luas dalam masyarakat, meyakinkan para laki-laki untuk berkuasa melampaui batas, yang menjadikan perempuan sebagai sasaran pelecehan, seperti kata Nisreen.
“Zaman Ghadafi banyak terjadi pelecehan seksual dan generasi penduduk sekarang dibesarkan dengan keadaan itu,” kata Nisreen.
Katanya, pelecehan seksual paska revolusi di Ibukota Libya dan kota-kota besar telah meningkat dan sekarang berada pada tingkat yang berbeda, dengan pelanggaran hukum yang terjadi membuat negara itu lebih berbahaya.
Pergi ke luar rumah sendirian atau bahkan bersama teman perempuan pun beresiko menjadi sasaran pelecehan secara lisan dan kadang-kadang secara fisik, katanya. Bahkan berbelanja pun merupakan derita.
“Ada anak-anak muda yang menggunakan obat terlarang dan meminum arak lalu berkeliaran dan kalau melihat perempuan yang mereka sukai mulailah mereka goda dan lecehkan,” papar Nisreen.
Libya bukan satu-satunya negara di Timur Tengah yang mengalami meningkatnya pelecehan seksual setelah pergolakan Arab.
Dalam bulan Mei di Entitas PBB untuk Persamaan Hak melaporkan bahwa 99,3 persen perempuan Mesir mengalami bentuk pelecehan seksual atau tindak kekerasan. Hampir 50 persen perempuan melaporkan bertambah banyak pelecehan setelah revolusi yang menggulingkan Presiden Hosni Mubarak.
Tanpa angkatan kepolisian yang benar-benar melakukan tugasnya tidak akan ada statistik untuk mengetahui berapa sering pelecehan itu terjadi di Timur Tengah.
Tetapi para aktivis di Libya mengatakan, keadaan itu bisa merembes, dan perempuan tidak berani melaporkannya karena takut akan dilecehkan oleh polisi kalau mereka mengadu.
Para aktivis yang marah karena pelecehan itu mengikuti sebuah contoh yang diterapkan di Mesir dan meluncurkan situs web untuk mencatat insiden-insiden dan guna mendesak pihak berwenang Libya agar bertindak.