Dari kekeringan yang mematikan, tanaman yang rusak sampai keringnya sumber air, masyarakat di seluruh wilayah Afrika sub-Sahara berjuang untuk menahan panasnya suhu global yang memecahkan rekor.
Tapi bahaya tidak berakhir disana. Meningkatnya panas menimbulkan ancaman lain, yang kurang diketahui dan dipelajari namun dapat memicu epidemi penyakit di seluruh benua, kata para ilmuwan.
Nyamuk menjadi ancaman, dan risikonya melampaui malaria.
Berdasarkan penelitian Stanford University, nyamuk Aedes aegypti yang menyebarkan virus, berpotensi melemahkan dan mematikan. Mulai dari Zika, demam berdarah sampai chikungunya, tumbuh subur di daerah beriklim lebih hangat daripada nyamuk pembawa malaria yang dikenal dengan Anopheles.
Di sub-Sahara Afrika, tingkat malaria dapat meningkat di daerah yang lebih dingin saat mereka memanas, namun tetap menerjang tempat yang lebih panas yang sekarang melawan penyakit ini. Di benua tersebut, malaria, adalah salah satu pembunuh terbesar. Yang bisa disaingi oleh penyakit bawaan vektor lainnya karena krisis kesehatan.
"Seiring meningkatnya suhu yang melebihi 25 derajat Celsius (77 derajat Fahrenheit), Anda menjauh dari transmisi puncak untuk malaria, dan menghadapi penyakit seperti demam berdarah," kata Erin Mordecai, asisten profesor di Stanford.
"Kami memiliki prospek ancaman malaria yang menular di Afrika, sementara Zika, demam berdarah dan chikungunya menjadi lebih berbahaya," katanya.
Selain pemanasan global, para ilmuwan khawatir meningkatnya urbanisasi di Afrika juga dapat memicu penularan penyakit yang dibawa oleh nyamuk Aedes aegypti, yang berkembang di kota-kota dan daerah kumuh, kebalikan dari Anopheles.
Menurut data Bank Dunia, setengah dari orang Afrika diperkirakan tinggal di kota pada tahun 2030, naik dari 36 persen dari tahun 2010.
Menurut Angka Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), meningkatnya penduduk mungkin menjadi sasaran virus yang ditularkan melalui vektor seperti demam berdarah. Tentunya mengejutkan Afrika dengan kecepatan rekor penyebaran dalam beberapa tahun terakhir. Didorong dengan urbanisasi, pertumbuhan penduduk, sanitasi yang buruk dan pemanasan global.
"Kami melihat perkembangan yang kurang direncanakan di Afrika, tidak hanya dengan kota-kota besar namun permukiman yang lebih kecil ... yang seringkali kekurangan air dan sanitasi yang layak," kata Marianne Comparet, direktur International Society fo Neglected Tropical Diseases.
"Perubahan iklim, penyakit dan interaksi antara manusia dan habitat - ini adalah krisis yang terjadi di bawah radar ... sebuah bom waktu untuk masalah kesehatan masyarakat," tambahnya.
Bahaya bahwa dorongan global untuk mengakhiri malaria, yang menyerap investasi internasional sebesar $2,9 miliar pada tahun 2015, telah membuat negara-negara Afrika tidak siap menghadapi penyakit akibat vektor lainnya, kata Larry Slutsker dari organisasi kesehatan internasional PATH.
"Penyakit seperti demam berdarah dan chikungunya telah terbengkalai dan kurang didanai," kata Slutsker, pemimpin malaria PATH dan program penyakit tropis yang terabaikan. "Perlu pengawasan dan pemahaman yang jauh lebih baik."
Malaria membunuh sekitar 430.000 orang per tahun, sekitar 90 persen di antaranya adalah anak-anak muda Afrika. [aa/ww]