Pertumbuhan penerimaan pajak di Tanah Air menunjukkan perkembangan yang sangat signifikan setelah sebelumnya anjlok karena imbas COVID-19. Untuk itu, pemerintah berani memasang target penerimaan pajak sebesar 50 persen pada tahun ini. Pada 2020, Indonesia mencatatkan pertumbuhan negatif yang paling tinggi dalam sejarah, di mana penerimaan pajak bahkan mencapai minus 19 persen.
"Apabila di tahun 2020 kita mengalami pertumbuhan negatif 19 persen. Maka di tahun 2021 kita sudah menunjukkan pertumbuhan positif 18 persen. Di tahun 2022 kita melihat perkembangan yang lebih besar lagi. Rata-rata pertumbuhan di tahun ini sudah berkisar 50 persen. Artinya jauh lebih tinggi dibandingkan tahun 2021," kata Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Kementerian Keuangan, Yon Arsal, dalam diskusi Forum Merdeka Barat 9, Senin (25/7).
Yon melanjutkan, dengan perkembangan penerimaan pajak yang sangat signifikan mencapai 50 persen, pertumbuhan itu diharapkan mampu mengurangi tekanan terhadap rasio penerimaan pajak Indonesia.
"Dengan demikian kita memiliki cukup ruang untuk pembiayaan pembangunan dan membiayai berbagai dampak dari harga komoditas yang naik. Itu menyebabkan biaya yang dikeluarkan untuk subsidi serta kompensasi bahan bakar menjadi dapat ditanggulangi dengan baik," ujarnya.
Yon memaparkan pada Program Pengungkapan Sukarela (PPS) di 2022 hingga saat ini telah diikuti 247.918 wajib pajak dengan jumlah Pajak Penghasilan (PPh) yang disetorkan ke kas negara berjumlah Rp61,01 triliun.
"Tentu ini menjadi modal yang baik tidak hanya semata memperoleh penerimaan tapi juga memberikan kemudahan bagi wajib pajak," ungkapnya.
Yon mengatakan ada sejumlah tantangan eksternal yang memengaruhi pertumbuhan penerimaan pajak. Faktor-faktor tersebut di antaranya terganggunya rantai pasok global dan lonjakan harga komoditas dunia. Selain itu juga naiknya inflasi global dan penurunan proyeksi pertumbuhan dunia. Kendati demikian, katanya, tingginya harga komoditas dunia juga memberikan dampak positif bagi penerimaan pajak.
"Dari berbagai tantangan yang ada, tentu kami tidak berhenti melakukan reformasi. Masih banyak hal dan peluang yang bisa ditingkatkan untuk menciptakan keberlangsungan fiskal kita di masa mendatang," pungkasnya.
Ketua Komite Perpajakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Siddhi Widyaprathama, mengapresiasi Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang telah membawa Indonesia ke reformasi tahap keempat sejak tahun 2016.
"Mengenai reformasi perpajakan memang perjalanannya sudah cukup panjang," katanya yang juga hadir dalam diskusi tersebut.
Menurut Siddhi, ada sejumlah faktor yang memengaruhi reformasi perpajakan seperti regulasi, administrasi, dan sumber daya manusia.
"Saat ini kami juga memperhatikan bahwa DJP sudah mulai mempersiapkan ke arah compliance risk management," ucapnya.
Kemudian, digitalisasi sistem administrasi perpajakan juga merupakan hal positif yang harus dilakukan untuk memantau setiap wajib pajak yang mengalami keuntungan dampak kenaikan harga komoditas (windfall profit).
"Dengan demikian pemerintah bisa meng-capture apabila ada wajib pajak dan sektor-sektor usaha yang mengalami windfall profit. Tentu tidak serta-merta sektor itu menjadi tumpuan maupun harapan," ujar Siddhi.
Dia pun menyarankan agar pemerintah meningkatkan jangkauan untuk wajib pajak terhadap perorangan maupun bidang usaha.
"Ke depannya harus meningkatkan jangkauan untuk wajib pajak. Kami terus mendorong ekstensifikasi karena pajak ini harus dipikul bersama oleh seluruh warga negara yang sudah memiliki kewajiban pajak bagi pribadi maupun usaha," tandas Siddhi. [aa/ah]
Forum