Bulan Juli 2018 ini, menandai satu dasawarsa rampungnya tugas Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) yang dibentuk oleh pemerintah Indonesia dan Timor Leste.
Dalam laporan akhir berjudul “Melalui Kenangan Menuju Harapan,” komisi bersama ini menemukan adanya pelanggaran hak asasi manusia berat di Timor-Timur dalam bentuk kejahatan kemanusiaan dan tanggung jawab institusional.
KKP merupakan satu-satunya komisi bilateral di dunia yang memiliki mandat memperkokoh perdamaian dan persahabatan antara Indonesia dan Timor Leste, lewat pengungkapan kebenaran konklusif atas kekerasan di Timor-Timur pada 1999.
Namun salah satu rekomendasi KKP, yakni membentuk komisi untuk mengusut orang-orang hilang, belum dilaksanakan. Diskusi reguler setiap tahun antar pejabat kedua negara, lebih memusatkan perhatian pada penguatan hubungan ekonomi dan politik.
Persoalan anak-anak Timor-Timur yang hilang atau dibawa paksa ke Indonesia tersebut menjadi tema sebuah diskusi diJakarta, Jumat (13/7), dalam memperingati sepuluh tahun laporan KKP.
Wakil Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Ferry Kusuma menilai penyelesaian ribuan orang Timor Leste yang dibawa paksa keIndonesia bakal sulit dituntaskan karena tidak sedikit pihak-pihak yang diduga terlibat dalam peristiwa tersebut masih memiliki jabatan.
Fery menilai pemerintah Indonesia abai dengan rekomendasi KKP karena sampai saat ini belum membentuk komisi untukorang hilang. Padahal pembentukan komisi tersebut sangat penting untuk memudahkan pencarian anak-anak Timor-Timur yang dibawa paksa ke Indonesia dan buat memenuhi hak-hak mereka.
"Pada momen ini, kita sampaikan agar pemerintah Indonesia punya satu agenda membentukkomisi orang hilang supaya pencarian para korban lebih mudah sehingga hak-hak mereka tidak terabaikan. Ini bukan pendekatan hukum, ini bukan pendekatan pidana bagi para pelakunya. Ini hanya pendekatan non-yudisial. Jadi bukan sesuatu yang harus ditakutkan oleh pemerintahan hari ini," kata Fery.
Ferry mengungkapkan hasil penyelidikan KontraS yang menemtukan adanya ribuan anak-anak Timor-Timur selama periode 1975-1999 yang dibawa paksa Indonesia, di mana kemudian identitas dan agamanya diubah.
Komisi pencari kebenaran Timor Leste, CAVR, memperkirakan ada sekitar 4.000 anak Timor Leste yang dipisahkan secara paksa dari keluarga mereka, antara 1975 sampai 1999 akibat militer Indonesia, pemerintah Indonesia, atau organisasi keagamaan. Mereka disebut anak yang dicuri.
Koordinator Reginal Asia Rights and Justice (AJAR) Indria Fernida menjelaskan pembentukan komisi untuk orang hilang ini menjadi penting karena untuk mencari tahu dan mengidentifikasi semua anak Timor-Timur yang terpisah dari orang tua mereka. Komisi ini kemudian harus memberitahu dan kondisi anak-anak mereka yang dibawa paksa ke Indonesia dan dipertemukan kembali dengan keluarga mereka di Timor Leste saat ini.
Indria menambahkan sampai sekarang orang tua dan keluarga anak-anak hilang itu masih menunggu kabar mengenai nasib mereka, apakah masih atau sudah meninggal.
"Ada laporan yang sudah dihasilkan dan menyatakan ada ribuan orang yang hilang di Timor Leste. Sebagian di antaranya adalah anak-anak, diambil pada masa penjajahan Indonesia di Timor Leste dan dibawa ke Indonesia menjadi tentara bantuan operasi, hidup dalam situasi ketidakpastian," jelasnya.
Indria mengungkapkan hampir empat tahun sejumlah lembaga nirlaba melakukan pencarian terhadap anak-anak Timor-Timur yang hilang, baru 111 orang yang ditemukan dan baru 57 orang yang berhasil dipertemukan dengan keluarga mereka di Timor Leste.
Indria menggaris bawahi bahwa pencarian anak-anak Timor-Timur yang hilang merupakan tanggung jawab negara.
Karina, salah satu anak Timor-Timur yang hilang dan telah dipertemukan dengan keluarganya, mengakui sangat sulit mencari tahu keberadaan mereka di Indonesia, karena sudah tersebar di beragam pelosok. Karina mengaku menemukan anak-anak yang hilang itu antara lain di Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, dan Jakarta.
"Beberapa di antara mereka sangat merindukan ingin bertemu keluarga. Tapi karena kondisi ekonomi dan kesehatan yang sangat minim, sehingga harapan mereka untuk bertemu keluarga itu, kalau nggak dibantu masyarakat sipil untuk beberapa yang sudah kita pertemukan, mungkin mereka sampai saat ini belum bisa ketemu dengan keluarga," tutur Karina.
Menurut Karina, masyarakat Timor Leste masih sangat berharap anggota keluarganya yang hilang antara 1975-1999 bisa ditemukan. Meskipun demikian, sebagian keluarga beranggapan anak-anak yang hilang itu sudah meninggal.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Sandrayati Moniaga menjelaskan, dalam dokumen resmi KKP tercatat ada sekitar 16.500 orang hilang, termasuk lebih dari empat ribu anak-anak, selama periode 1975-1999 di Timor-Timur. Sayangnya, lanjut dia, pemerintah sampai saat ini belum mengambil langkah-langkah untuk membentuk komisi orang hilang seperti yang diamanatkan dalam rekomendasi KKP.
Sandrayati memuji peran masyarakat sipil untuk mencari anak-anak Timor-Timur yang dibawa paksa ke Indonesia pada periode1975-1999, dan kemudian dipertemukan kembali dengan keluarga mereka. Dia menambahkan Komisi Nasional HAM sangat mendukung upaya tersebut.
Anggota Staf Ahli Presiden Bidang Hak Asasi Manusia, Ifdal Kasim hingga laporan ini diturunkan tidak memberikan jawaban. [fw/em]