Beberapa tahun terakhir ini Komisi Nasional Hak Asasi Manusia kerap dikritik karena dinilai tidak mampu berbuat banyak untuk menegakkan dan menyelesaikan beragam kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Hal ini disampaikan beberapa pihak dalam sarasehan “25 Tahun KOMNAS HAM” di Jakarta, hari Senin (9/7).
Dalam sambutannya, Ketua KOMNAS HAM Ahmad Taufan Damanik mengakui kinerja lembaga pemantau HAM tersebut pada era Orde Baru lebih bagus sehingga menjadikan badan ini lebih disegani dan menjadi satu-satunya badan harapan masyarakat untuk mencari keadilan ketika hak asasi mereka dilanggar.
"KOMNAS HAM hadir di tengah-tengah kenegaraan yang sangat sentralistik dan kekuasaan yang terpusat di bawah Presiden Soeharto. Namun KOMNAS HAM membuktikan dirinya sebagai lembaga yang mampu mengemban amanat untuk memajukan dan melindungi hak asasi manusia," ujar Taufan.
Di era reformasi, menurut Taufan Damanik, KOMNAS HAM menikmati angin segar dan atmosfir demokrasi yang tidak diperoleh di masa Orde Baru. Semasa jabatan Presiden B.J. Habibie, diterbitkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang memberi legalitas kelembagaan dan kewenangan yang lebih kokoh, serta dukungan teknis dan administratif yang lebih memadai. Kewenangan KOMNAS HAM bertambah dengan hadirnya undang-undang mengenai pengadilan HAM, yang memberikan kewenangan sebagai penyelidik atas peristiwa pelanggaran HAM berat.
Tantangan di era reformasi semakin bertambah seiring semakin muncul keberanian warga untuk mengadukan dugaan pelanggaran HAM yang mereka alami. Dengan demikian, ujar Taufan Damanik, harapan masyarakat pada KOMNAS HAM pun semakin tinggi. Terlebih karena dari 13 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang ditangani, baru tiga kasus yang diputus pengadilan, yaitu kasus Tanjung Priok 1984, kasus Timor-Timur 1999, dan kasus Abepura 2000. Sepuluh kasus lain – termasuk kasus penghilangan paksa 1997/1998, Tragedi Trisakti 1998, dan Tragedi Mei 1998 – masih belum belum ditindaklanjuti Kejaksaan Agung.
Taufan Damanik menekankan KOMNAS HAM telah menempuh berbagai cara untuk mendorong agar sepuluh kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tersebut segera dituntaskan. Semua komisioner KOMNAS HAM pada awal Juni lalu telah bertemu Presiden Joko Widodo dan meminta kepada presiden untuk memerintahkan jaksa agung untuk menindaklanjuti hasil penyelidiki mengenai sepuluh kasus pelanggaran HAM berat masa lalu itu.
"Kita percaya presiden akan memenuhi kewajiban. Penyelesaian atas kasus tersebut menjadi utang bangsa untuk segera diselesaikan dan menjadi kewajiban kita sebagai bangsa yang beradab, yaitu bangsa yang menghargai, menghormati, dan menegakkan hak asasi manusia sebagai hak yang personal bagi setiap warga negara Indonesia," imbuh Taufan.
Komisioner Komisi Nasional HAM periode 1993-1998 Albert Hasibuan mengakui ketika rezim otoriter Soeharto berkuasa, KOMNAS HAM sangat disukai oleh masyarakat karena lembaga ini menjadi satu-satunya tempat untuk mencari keadilan bagi para korban pelanggaran HAM. Kini, tegas Albert, KOMNAS HAM membutuhkan penguatan kewenangan penyelidikan untuk memperkuat perannya.
"Saya mengusulkan agar ada semacam ketentuan peraturan yang menyatakan bahwa penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM sebagai bukti permulaan harus ditindaklanjuti oleh jaksa sebagai penyelidik profesional, untuk kemudian dilakukan penyerahan kepada pengadilan," kata Albert.
Anggota Staf Ahli Presiden Bidang Hak Asasi Manusia Ifdhal Kasim mengatakan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia harus mengubah strateginya dengan lebih memusatkan perhatian pada pelaku pelanggaran HAM non-negara dan tidak melulu bicara mengenai pelanggaran HAM pada masa silam.
Ketika ditanya mengenai penyelesaian pelanggaran HAm berat masa lalu, Ifdhal menyarankan agar mengambil langkah rekonsiliasi jika memang ada kebuntuan dalam proses hukum.
Menurut catatan VOA, hingga saat ini belum ada perkembangan mengenai rekonsiliasi tersebut.
"Jaksa agung sekarang sudah mulai melakukan penelaahan terhadap dokumen-dokumen yang sudah diserahkan oleh Komnas HAM, dengan konsentrasinya pada kasus Wasior dan Wamena," ungkap Ifdhal.
Lebih jauh Ifdhal menilai KOMNAS HAM sekarang bergerak lebih lambat karena organisasinya kelewat “gemuk.” Ia mengusulkan perampingan struktur sehingga badan ini dapat bekerja lebih fleksibel. [fw/em]