JAKARTA —
Para orangtua murid dan aktivis pendidikan meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan segera menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pembubaran program Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI).
Andi Muttaqien, kuasa hukum para penggugat aturan mengenai RSBI dan SBI yang tergabung dalam Koalisi Pendidikan, mengatakan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus segera merevisi peraturan turunan terkait RSBI, serta menata ulang sekolah-sekolah RSBI.
Selain itu tambahnya, Kementerian juga harus membuat suatu mekanisme pengawasan untuk memastikan tidak ada lagi sekolah yang menarik pungutan yang tidak jelas peruntukannya.
“Ini kan sudah dibatalkan pasalnya, jadi Kemendikbud harus mengembalikan status RSBI menjadi sekolah regular. Sebanyak 1.300 sekolah RSBI di seluruh Indonesia ini harus kembali ke regular,” ujar Andi kepada VOA, Rabu (9/1).
“Peraturan pemerintah yang mengatur tentang RSBI dengan sendirinya batal. Jadi kewenangan sekolah-sokolah RSBI yang memungut biaya-biaya lain kepada orang tua murid itu harus di hentikan. Pemerintah juga harus meluaskan anggaran yang semula hanya untuk RSBI ini, kepada sekolah-sekolah regular,” tambahnya.
Mahkamah Konstitusi membatalkan Pasal 50 ayat 3 Undang-Undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menjadi dasar pembentukan RSBI dan SBI, artinya keberadaan RSBI dan SBI dihapuskan dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.
Ketua MK Mahfud MD saat membacakan putusan itu Selasa (8/1) menegaskan pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Dalam pertimbangan hukum keputusan MK itu disebutkan, kenyataan di lapangan menunjukkan para siswa yang bersekolah pada sekolah yang berstatus SBI/RSBI harus membayar biaya yang jauh lebih tinggi dibanding sekolah non-SBI/RSBI. Hal demikian terkait dengan adanya peluang SBI/RSBI memungut biaya tambahan dari peserta didik baik melalui atau tanpa melalui komite sekolah. Pada akhirnya, hanya keluarga dengan status ekonomi mampu dan kaya yang dapat menyekolahkan anaknya pada sekolah SBI/RSBI.
Keputusan Mahkamah Konstitusi ini disambut gembira seorang ibu bernama Milang Tauhida, yang mempunyai dua anak yang bersekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 RSBI Jakarta.
“Saya mengucap syukur kepada Allah karena MK sangat peka terhadap aspirasi sebagian besar masyarakat. Karena pada kenyataannya yang lebih kelihatan adalah kerugian dari para orang tua murid dalam sistim RSBI. Walaupun sebenarnya mungkin maksudnya baik. Untuk ke depannya, pemerintah harus lebih mikir kalau membuat suatu kebijakan. Jadi tidak membuat kebingungan di masyarakat,” ujarnya.
Milang mengaku sering dimintai dana-dana yang tidak jelas peruntukannya dari sekolah. Akibat sering mempertanyakan pungutan-pungutan dana dari sekolah itu, rapor anak Milang ini pernah ditahan oleh pihak sekolah, menurutnya.
“Yang di sekolah anak saya itu, ada program-program yang tidak jelas manfaatnya, seperti kunjungan ke luar negeri, dengan dana yang dibebankan ke orangtua murid,” ujar Milang.
“Rapor anak saya pernah ditahan gara-gara kita para orangtua murid menanyakan pertanggungjawaban keuangan dari sekolah. Sebenarnya kita tidak menolak memberikan dana atau sumbangan ke pihak sekolah, tapi tidak salah kan kalo kami mempertanyakan itu?”
Terkait keputusan MK menyangkut RSBI/SBI, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan akan segera berkoordinasi dengan Mahkamah Konstitusi pasca-dibatalkannya RSBI.
Andi Muttaqien, kuasa hukum para penggugat aturan mengenai RSBI dan SBI yang tergabung dalam Koalisi Pendidikan, mengatakan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus segera merevisi peraturan turunan terkait RSBI, serta menata ulang sekolah-sekolah RSBI.
Selain itu tambahnya, Kementerian juga harus membuat suatu mekanisme pengawasan untuk memastikan tidak ada lagi sekolah yang menarik pungutan yang tidak jelas peruntukannya.
“Ini kan sudah dibatalkan pasalnya, jadi Kemendikbud harus mengembalikan status RSBI menjadi sekolah regular. Sebanyak 1.300 sekolah RSBI di seluruh Indonesia ini harus kembali ke regular,” ujar Andi kepada VOA, Rabu (9/1).
“Peraturan pemerintah yang mengatur tentang RSBI dengan sendirinya batal. Jadi kewenangan sekolah-sokolah RSBI yang memungut biaya-biaya lain kepada orang tua murid itu harus di hentikan. Pemerintah juga harus meluaskan anggaran yang semula hanya untuk RSBI ini, kepada sekolah-sekolah regular,” tambahnya.
Mahkamah Konstitusi membatalkan Pasal 50 ayat 3 Undang-Undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menjadi dasar pembentukan RSBI dan SBI, artinya keberadaan RSBI dan SBI dihapuskan dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.
Ketua MK Mahfud MD saat membacakan putusan itu Selasa (8/1) menegaskan pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Dalam pertimbangan hukum keputusan MK itu disebutkan, kenyataan di lapangan menunjukkan para siswa yang bersekolah pada sekolah yang berstatus SBI/RSBI harus membayar biaya yang jauh lebih tinggi dibanding sekolah non-SBI/RSBI. Hal demikian terkait dengan adanya peluang SBI/RSBI memungut biaya tambahan dari peserta didik baik melalui atau tanpa melalui komite sekolah. Pada akhirnya, hanya keluarga dengan status ekonomi mampu dan kaya yang dapat menyekolahkan anaknya pada sekolah SBI/RSBI.
Keputusan Mahkamah Konstitusi ini disambut gembira seorang ibu bernama Milang Tauhida, yang mempunyai dua anak yang bersekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 RSBI Jakarta.
“Saya mengucap syukur kepada Allah karena MK sangat peka terhadap aspirasi sebagian besar masyarakat. Karena pada kenyataannya yang lebih kelihatan adalah kerugian dari para orang tua murid dalam sistim RSBI. Walaupun sebenarnya mungkin maksudnya baik. Untuk ke depannya, pemerintah harus lebih mikir kalau membuat suatu kebijakan. Jadi tidak membuat kebingungan di masyarakat,” ujarnya.
Milang mengaku sering dimintai dana-dana yang tidak jelas peruntukannya dari sekolah. Akibat sering mempertanyakan pungutan-pungutan dana dari sekolah itu, rapor anak Milang ini pernah ditahan oleh pihak sekolah, menurutnya.
“Yang di sekolah anak saya itu, ada program-program yang tidak jelas manfaatnya, seperti kunjungan ke luar negeri, dengan dana yang dibebankan ke orangtua murid,” ujar Milang.
“Rapor anak saya pernah ditahan gara-gara kita para orangtua murid menanyakan pertanggungjawaban keuangan dari sekolah. Sebenarnya kita tidak menolak memberikan dana atau sumbangan ke pihak sekolah, tapi tidak salah kan kalo kami mempertanyakan itu?”
Terkait keputusan MK menyangkut RSBI/SBI, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan akan segera berkoordinasi dengan Mahkamah Konstitusi pasca-dibatalkannya RSBI.