SURABAYA —
Ketua Avian Influenza Research Center (AIRC) di Universitas Airlangga Surabaya, Chairul Nidom, mengatakan kematian ratusan ribu itik di sembilan provinsi di Indonesia akibat virus flu burung beberapa bulan terakhir harus disikapi secara serius agar penyebarannya tidak semakin meluas dan mengancam jiwa manusia.
Nidom mengatakan pada Senin (7/1) bahwa penyebaran virus H5N1 varian 232 ini sangat sulit diprediksi dan dicegah, karena disebarkan melalui media air.
“Kalau di unggas [darat] itu penyebarannya kan melalui udara. Kalau melalui udara itu kita bisa hitung, maksimal jarak yang ditempuh adalah kira-kira 1 kilometer. Tetapi kalau melalui air tidak bisa diprediksi, sejauh air itu mengalir maka disitu model penyebaran virus itu,” ujarnya.
“Jadi kalau saat ini terjadi banjir di [sungai] Bengawan Solo, maka otomatis wilayah hilir atau wilayah muara ini akan mendapat kiriman virus yang berasal dari hulu.”
Nidom menambahkan, kemungkinan banyak dan luasnya wilayah penyebaran virus ini akan dapat berdampak pada kematian lebih banyak lagi itik di Indonesia, bahkan hingga habis seluruhnya.
Lebih jauh lagi, Nidom menyebutkan ada dugaan unsur bioterorisme dalam penyebaran virus ini. Ia mengungkapkan, penyebaran virus H5N1 yang banyak ditemukan di Vietnam dan China diduga merupakan desain dari pihak tertentu, sehingga bisa menjadi ancaman pertahanan.
“[Penyebaran] bisa melalui burung liar atau burung migrasi. Yang kedua adalah faktor kesengajaan. Kesengajaan ini bisa dibedakan menjadi dua, yaitu perdagangan atau sengaja membawa, atau aspek bioteroris. Sementara dari aspek epidemologi burung migrasi, saya tidak melihat, dan tidak ada fakta ilmiah bahwa burung migrasi itu membawa viris varian 232,” ujarnya.
Di Jawa Timur terdapat enam kabupaten dan kota yang positif terjangkit virus H5N1 varian 232, yang mengakibatkan ribuan itik milik warga mati mendadak.
Meski demikian, Gubernur Jawa Timur Soekarwo belum menganggap peristiwa ini sebagai kejadian luar biasa (KLB) yang harus mendapat perhatian serius dari pemerintah.
“Kita coba obatnya, disemprot, dan samplingnya dibawa ke laboratorium. Posisi belum sampai KLB, tapi kita terus melakukan pencegahan. Ada 270 tenaga untuk itu dan kita sediakan uang kalau kekurangan,” ujar Soekarwo.
Nidom menegaskan, penyebaran virus yang tidak terprediksi dan bergerak sangat cepat ini harus diikuti langkah penanganan yang tepat dan cepat dari pemerintah, terutama dalam mencegah jatuhnya korban jiwa dari manusia.
“Jadi jangan menunggu karena ini masih di bebek, karena sirkulasi tadi yang saya gambarkan, itu tidak tertutup kemungkinan segera terjadi. Jadi apa yang harus segera dilakukan, ini harus segera dibentengi manusia ini,” ujarnya.
Nidom menambahkan, selain pengambilan keputusan yang cepat berupa pemusnahan itik yang diduga terinfeksi, pembuatan vaksin dari virus yang menyerang harus segera dilakukan. Langkah ini diperlukan agar penyebaran virus ke manusia melalui burung puyuh, babi, dan ternak lainnya dapat dicegah, ujarnya.
Nidom mengatakan pada Senin (7/1) bahwa penyebaran virus H5N1 varian 232 ini sangat sulit diprediksi dan dicegah, karena disebarkan melalui media air.
“Kalau di unggas [darat] itu penyebarannya kan melalui udara. Kalau melalui udara itu kita bisa hitung, maksimal jarak yang ditempuh adalah kira-kira 1 kilometer. Tetapi kalau melalui air tidak bisa diprediksi, sejauh air itu mengalir maka disitu model penyebaran virus itu,” ujarnya.
“Jadi kalau saat ini terjadi banjir di [sungai] Bengawan Solo, maka otomatis wilayah hilir atau wilayah muara ini akan mendapat kiriman virus yang berasal dari hulu.”
Nidom menambahkan, kemungkinan banyak dan luasnya wilayah penyebaran virus ini akan dapat berdampak pada kematian lebih banyak lagi itik di Indonesia, bahkan hingga habis seluruhnya.
Lebih jauh lagi, Nidom menyebutkan ada dugaan unsur bioterorisme dalam penyebaran virus ini. Ia mengungkapkan, penyebaran virus H5N1 yang banyak ditemukan di Vietnam dan China diduga merupakan desain dari pihak tertentu, sehingga bisa menjadi ancaman pertahanan.
“[Penyebaran] bisa melalui burung liar atau burung migrasi. Yang kedua adalah faktor kesengajaan. Kesengajaan ini bisa dibedakan menjadi dua, yaitu perdagangan atau sengaja membawa, atau aspek bioteroris. Sementara dari aspek epidemologi burung migrasi, saya tidak melihat, dan tidak ada fakta ilmiah bahwa burung migrasi itu membawa viris varian 232,” ujarnya.
Di Jawa Timur terdapat enam kabupaten dan kota yang positif terjangkit virus H5N1 varian 232, yang mengakibatkan ribuan itik milik warga mati mendadak.
Meski demikian, Gubernur Jawa Timur Soekarwo belum menganggap peristiwa ini sebagai kejadian luar biasa (KLB) yang harus mendapat perhatian serius dari pemerintah.
“Kita coba obatnya, disemprot, dan samplingnya dibawa ke laboratorium. Posisi belum sampai KLB, tapi kita terus melakukan pencegahan. Ada 270 tenaga untuk itu dan kita sediakan uang kalau kekurangan,” ujar Soekarwo.
Nidom menegaskan, penyebaran virus yang tidak terprediksi dan bergerak sangat cepat ini harus diikuti langkah penanganan yang tepat dan cepat dari pemerintah, terutama dalam mencegah jatuhnya korban jiwa dari manusia.
“Jadi jangan menunggu karena ini masih di bebek, karena sirkulasi tadi yang saya gambarkan, itu tidak tertutup kemungkinan segera terjadi. Jadi apa yang harus segera dilakukan, ini harus segera dibentengi manusia ini,” ujarnya.
Nidom menambahkan, selain pengambilan keputusan yang cepat berupa pemusnahan itik yang diduga terinfeksi, pembuatan vaksin dari virus yang menyerang harus segera dilakukan. Langkah ini diperlukan agar penyebaran virus ke manusia melalui burung puyuh, babi, dan ternak lainnya dapat dicegah, ujarnya.