Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Djoko Suyanto, mengatakan keamanan nasional yang dimaksud bukan hanya dilihat dari segi perang melawan terorisme atau pemberontakan bersenjata di daerah; tetapi aspek-aspek lain seperti bencana alam, wabah penyakit menular, atau kerusuhan sosial. UU ini juga tidak seketika memisahkan fungsi TNI dan Polri. Hal ini diungkapkan Djoko Suyanto, sebelum rapat kabinet terbatas di kantor Presiden, Jumat siang.
Djoko Suyanto mengatakan, “Kalau ada wabah, krisis nasional itu ‘kan juga keamanan nasional. Jadi keamanan nasional itu urusannya mengurusi wabah yang meluas, bencana kelaparan di suatu daerah, kemudian hal-hal yg sangat mendesak di suatu tempat. Jadi tidak hanya aspek keamanan, public security (keamanan masyarakat), dan pertahanan. Pengertiannya harus diletakkan ke itu dulu, kalau belum-belum sudah berpikir “wah ini nanti TNI lagi (yang berkuasa)”, bukan itu masalahnya. Makanya teman-teman itu tolong baca dulu yah, rohnya dari RUU Keamanan Nasional. Jangan belum-belum “lah ini pasti TNI mau balik lagi, polisi dibawah TNI”, enggak ada itu, sebab keamanan nasional itu macam-macam.”
Beberapa pihak telah meminta Presiden Yudhoyono membatalkan pembahasan RUU Keamanan Nasional; diantaranya Indonesian Police Watch (IPW) dan advokat senior Adnan Buyung Nasution. Ketua Presidium IPW, Neta S. Pane mengatakan, sekitar 50 persen dari 70 pasal yang ada di dalam RUU Kamnas, berpotensi menimbulkan masalah karena bertabrakan dengan sejumlah undang-undang yang sudah ada.
Pasal 62 misalnya, menyebutkan bahwa kepala daerah bisa meminta bantuan aparat TNI untuk mengatasi mogok massal dan konflik komunal. Padahal, sesuai dengan UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, hal itu menjadi tugas utama aparat Polri. Permintaan bantuan terhadap TNI hanya bisa dilakukan oleh pimpinan Polri, kata Neta S. Pane.
Hal yang sama juga dijumpai di Pasal 63. Pasal ini menyebutkan, dalam menghadapi situasi genting yang mengancam keamanan insani dan keamanan publik, TNI dapat digunakan atau mengambil langkah-langkah penyelamatan awal.
Sedangkan Adnan Buyung Nasution berpendapat UU Keamanan Nasional dapat berakibat pada pelarangan berbagai aktivitas yang menjurus pada dibungkamnya kebebasan berpendapat. Maka, harus ada mekanisme pengawasan agar UU tersebut tidak melanggar HAM dan demokrasi.
“Yang penting juga adalah mekanisme pengawasannya bagaimana. Kita pernah mengalami dulu di masa Orde Lama dan Orde Baru. Dulu pada Orde Lama semua dikaitkan dengan kepentingan revolusi, siapa yang benar-benar mengkaji revolusi bisa diganjar hukuman subversi. Orde Baru juga begitu, demi keamanan pembangunan, orang mengajukan petisi saja seperti Jenderal Dharsono dilarang, juga bagi siapa saja yang melakukan demonstrasi,” ujar Adnan Buyung Nasution.
Pendapat berbeda datang dari Ketua Kajian Wilayah Amerika dari Universitas Indonesia, Susi Sudarman. Kepada VOA, ia menilai bahwa selama ini isu ekonomi lebih mendominasi wacana pemerintah, ketimbang pertahanan dan keamanan. Jika tidak segera dipikirkan, Indonesia lambat laun hanya menjadi “korban” dari kepentingan beberapa negara di Asia Pasifik.
Ia mengatakan, “Semua negara mencari energi, semua negara mencari sumber daya alam, padahal pemikiran-pemikiran strategis Indonesia kurang digaungkan lagi, karena agak fobia bicara soal militer, sehingga lebih banyak bicara soal ekonomi, padahal ekonomi dan militer saling terkait erat.”
Satu hal yang menarik, kata Susi, para pengamat kebijakan strategis AS justru menilai RUU Keamanan Nasional adalah satu bentuk yang dapat digunakan untuk meredam aksi-aksi kelompok yang kontra kebijakan SBY.