Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan pemerintah berencana untuk menghapuskan kebijakan karantina bagi PPLN pada 1 April mendatang. Luhut menjelaskan hal ini bisa diterapkan apabila situasi dan kondisi pandemi di Indonesia semakin membaik.
“Jika situasi terus membaik, dan vaksinasi terus meningkat tidak tertutup kemungkinan pada 1 April atau sebelum 1 April PPLN tidak akan lagi menerapkan karantina terpusat. Namun sekali lagi ini bergantung pada situasi pandemi dan supaya kita mengendalikan penyebaran kasus,” ungkap Luhut usai Ratas Evaluasi PPKM, di Jakarta, Senin (14/2).
Namun sebelum kebijakan itu diterapkan, pemerintah akan melakukan pelonggaran secara bertahap. Luhut mengungkapkan mulai minggu depan, lama karantina akan dikurangi menjadi tiga hari bagi PPLN, baik WNI maupun WNA, yang sudah mendapatkan vaksin penguat atau booster COVID-19 dan harus menjalani tes PCR pada saat sebelum dan sesudah karantina. Bagi PPLN yang belum mendapatkan booster, lama karantina tetap berlangsung selama lima hari.
“PPLN yang sudah selesai karantina diimbau tetap melakukan PCR test mandiri di hari kelima, dan melaporkan kondisi kesehatannya kepada puskesmas atau faskes terdekat,” tuturnya.
Lanjutnya, pada Maret mendatang pemerintah juga akan menurunkan waktu karantina menjadi tiga hari bagi PPLN dengan syarat yang sama, jika situasi pandemi membaik.
Pemerintah, ungkap Luhut, juga akan melakukan penyesuaian regulasi untuk pintu keluar masuk internasional, di wilayah Jawa dan Bali. Pihaknya akan membuka keberangkatan dan kedatangan jemaah umrah melalui Bandar Udara Djuanda, Surabaya. Selain itu Bandara Djuanda juga akan menerima WNA, dan WNI di luar Pekerja Migran Indonesia (PMI).
“Bandara Ngurah Rai juga akan dibuka untuk WNA dan WNI non PMI dan segala tujuan, tidak hanya wisatawan. Pintu laut di Bali juga dibuka WNA dan WNI, yang datang menggunakan kapal pesiar, cruise atau layar,” tambahnya.
Ahli Epidemiologi dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mengungkapkan kebijakan tersebut sangat memungkinkan diterapkan dalam rangka memulihkan ekonomi. Namun Dicky menegaskan, kebijakan ini harus dilakukan dengan tanpa mengabaikan mitigasi atau dengan tidak meningkatkan risiko perebakan.
“Catatannya ketika April nanti, bukan hanya turis tapi juga WNI yang pulang statusnya harus booster , tes PCR juga harus tetap berlaku. Lalu menyertakan hasil negatif tes PCR 3x24 jam atau bahkan 2x24 jam. Kemudian tentu kita ketika tiba bukan hanya memperlihat PCR negatif, tapi juga harus sudah booster dan tidak ada gejala,” ungkapnya kepada VOA.
Lebih lanjut, Dicky menjelaskan pelonggaran seperti ini harus dilakukan secara bertahap. Menurutnya, pembukaan pintu masuk internasional harus dibuka di wilayah yang cakupan vaksinasinya dosis keduanya minimal 90 persen, dan dosis ketiganya minimal sudah 60 persen. Menurutnya, modal imunitas ini penting sekali guna menekan angka keparahan dan kesakitan, terutama untuk kelompok rentan.
“Kita tidak bisa terburu-buru, karena bekal kondisi kita masih belum sebagus misalnya Australia yang sudah 90 persen vaksinasi dua dosisnya, dosis tiga sudah mau ke 70 persen. Jadi harus bertahap dan tetap berhati-hati,” jelasnya.
Kasus COVID-19 di Jawa dan Bali
Luhut menjelaskan rencana pelonggaran tersebut semata-mata dilakukan gangguan kesehatan yang ditimbulkan omicron cenderung lebih ringan dibandingkan delta. Empat puluh empat hari sejak 1 Januari 2022, puncak omicron sampai dengan saat ini masih belum melebihi puncak delta.
“Penambahan kasus di Jawa dan Bali terlihat melambat namun terjadi peningkatan kontribusi di luar Jawa dan Bali. Dalam tujuh hari terakhir, Banten, Bali dan Jawa Barat menjadi tiga provinsi yang tren kasusnya lebih tinggi dari puncak delta. Namun, belum seperti yang diprediksi banyak orang 3-4 kali lebih tinggi dari delta,” jelasnya.
Selain itu, jika dilihat dari angka kematian juga masih lebih rendah dibandingkan dengan varian delta. Ia mencontohkan, dari jumlah kasus pada 13 Februari lalu sebesar 44 ribu terdapat 111 kematian. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan varian delta yang menyebabkan 1.000 kematian per hari dari jumlah kasus yang sama.
Berdasarkan kondisi tersebut, pemerintah kembali melakukan penyesuaian penerapan level 3 pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), yaitu meningkatkan kapasitas working from office dari semula 25 persen menjadi 50 persen lebih. Selain itu, kegiatan masyarakat lainnya seperti aktivitas seni budaya, dan sosial masyarakat serta fasilitas umum seperti tempat wisata juga dinaikkan menjadi 50 persen.
“Dibandingkan beberapa negara yang sudah melakukan pembatasan, bahkan tidak diwajibkan menggunakan masker. Pendekatan kita jauh lebih konservatif. Hal ini dilakukan agar sistem kesehatan tetap terjaga, meminimalkan terjadinya kematian, karena menurut kami kehilangan satu nyawa sangat berharga. Setelah dua tahun pandemi COVID-19, rasanya kita harus siap beradaptasi dengan ketidakpastian ini,” tuturnya.
Kurva Omicron di DKI Jakarta Melandai
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan jumlah kasus harian COVID-19 sempat meningkat hingga 55 ribu kasus per hari, mendekati puncak kasus delta yang mencapai 56 ribu.
Sejauh ini, ujar Budi, sudah ada enam provinsi yang jumlah kasusnya sudah melampaui varian delta yakni DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Papua. Namun Budi menggarisbawahi bahwa ke enam provinsi tersebut tingkat keterisian tempat tidur atau bed occupancy ratio (BOR) bagi pasien corona masih berkisar 30 persen.
Lanjutnya, meskipun saat ini DKI Jakarta tingkat BOR-nya cenderung tinggi, namun Budi melihat tanda-tanda bahwa DKI Jakarta akan melewati masa puncaknya.
“Saya rasa nanti Banten, Jabar dan Bali ini sudah mendekati puncak dan baru nanti akan bergeser ke provinsi seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Jogjakarta, dan di luar Jawa. DKI kemungkinan besar kami mengamati bahwa minggu ini akan sampai puncaknya dan akan mulai bergerak turun. dan rumah sakitnya berhenti di level 40-50 persen dibandingkan dengan puncak delta,” ungkap Budi.
Budi juga melaporkan sejauh ini jumlah pasien COVID-19 yang di rawat di rumah sakit secara nasional mencapai 27 ribu orang. Pemerintah sendiri telah menyediakan 120 ribu tempat tidur. Dengan begitu masih ada sekitar 90 ribu tempat tidur yang kosong.
Dari jumlah pasien corona yang dirawat saat ini, ujarnya, sekitar 15 ribu orang bergejala ringan dan orang tanpa gejala (OTG). Oleh sebab itu, kembali Budi mengingatkan kepada masyarakat, apabila terpapar COVID-19 dan tidak bergejala atau memiliki gejala ringan supaya untuk melakukan isolasi mandiri di rumah masing-masing.
Budi juga mencatat, 60 persen dari total pasien COVID-19 yang meninggal sejauh belum divaksinasi sama sekali atau belum divaksinasi lengkap. Proporsi yang sama juga terjadi kepada pasien yang masuk ke ICU. Oleh karena itu, sekali lagi Budi mengimbau kepada masyarakat terutama kelompok rentan untuk segera mendapatkan vaksinCOVID-19.
Pemerintah pun akan melakukan akselerasi vaksinasi, mengingat baru tujuh provinsi yang sudah melakukan vaksinasi lengkap dan hanya empat provinsi yang vaksinasi lansianya mencapai 70 persen.
“Kami juga menyampaikan, yang belum divaksinasi dosis dua ini yang di atas tiga bulan jadi sudah terlambat itu ada 10 juta lebih. Terus yang di atas enam bulan ada 2,5 juta. Kami minta tolong untuk yang belum dua dosis, tolong segera dilengkapi, jangan tunggu, jangan pilih vaksin,” pungkasnya. [gi/ab]