Pemerintah menggulirkan wacana untuk hanya mengizinkan dokter dan dokter gigi melakukan praktik di satu tempat saja atau disebut monoloyalitas. Padahal saat ini profesi dokter dapat memiliki hingga tiga surat izin praktik di tiga tempat berbeda. Pemerintah berdalih pembatasan izin tersebut dilakukan untuk meningkatkan kualitas layanan jasa medis terkait pemenuhan hak pasien.
Kepala Biro Hukum dan Organisasi, Sekjen Kementerian Kesehatan, Sundoyo, mengatakan pasien tidak hanya butuh obat. Dari seorang dokter, pasien membutuhkan juga dukungan psikologis. Undang-undang juga memastikan, salah satu hak pasien adalah memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur dan tanpa diskriminasi.
“Bagaimana dia mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu. Bagaimana itu bermutu, ketika dibutuhkan di situ pada jam tertentu, lalu dokternya sedang di tempat praktik lain. Bagaimana cara menangani persoalan sepeti ini? Ini harus kita atur ke depan,” kata Sundoyo.
Prinsipnya, ketika pasien memasuki fasilitas kesehatan, kebutuhan Pasien dapat terdeteksi disana dengan baik.
Sundoyo menyampaikan itu dalam diskusi yang diselenggarakan Himpunan Advokat Spesialis Rumah Sakit (HASRS) dan Magister Hukum Kesehatan, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sabtu (30/10).
Dampak Positif-Negatif
Sundoyo memastikan, aturan baru ini memiliki dua dampak, baik positif maupun negatif. Dampak baik monoloyalitas dokter adalah pelayanan kesehatan pasti akan lebih baik, karena dia paripurna di satu fasilitas kesehatan. Manfaat kedua adalah dokter atau dokter gigi bisa memberikan pelayanan lebih optimal di rumah sakit, atau di satu tempat praktik. Pasien juga memiliki jaminan keberadaan dokter atau dokter gigi.
Selain itu, pilihan ini akan mampu meningkatkan brand image terhadap fasilitas kesehatan. Jika jauh lebih baik, masyarakat Indonesia tidak perlu lagi berobat ke luar negeri yang menguras devisa hingga Rp160 triliun per tahun. Pengembangan telemedisin juga akan dapat didukung.
Dampak negatifnya, tentu keputusan ini akan memperburuk kondisi distribusi dokter yang saat ini timpang antardaerah.
“Akses masyarakat di daerah-daerah tertentu juga tidak bisa kita penuhi. Lalu jumlah dokter dan dokter gigi, kita harus akui, memang masih kurang. Sudah kurang, distribusinya tidak merata pula,” tambah Sundoyo.
Tentu saja pemerintah tidak akan serta merta mengeluarkan aturan terkait monoloyalitas ini. Regulasi, dari mulai undang-undang hingga Peraturan Menteri Kesehatan akan dicermati bersama, terutama dengan para dokter sendiri.
Perlu Pelibatan Dokter
Sementara itu komunitas dokter di Tanah Air menolak gagasan monoloyalitas tersebut. Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Muhammad Adib Khumaidi meminta penyusunan aturan itu melibatkan mereka.
“Berkaitan dengan monoloyalitas, tentunya tidak hanya bisa semata-mata dibuat oleh pemerintah. Karena kita tahu, sebuah kebijakan jangan sampai tidak bisa terlaksana. Maka upaya-upaya untuk menjadikan kajian lebih komprehensif, itu menjadi sangat penting,” kata Adib.
Di sisi lain, Adib mengingatkan, dunia kedokteran justru memiliki persoalan lain yang lebih berat. Dia memberi contoh, misalnya di bagian hulu atau produksi, yaitu pendidikan bagi para dokter.
“Termasuk ke arah pendidikan spesialis juga masih menjadi permasalahan. Jadi saya kira lebih baik kita fokus dalam penyelesaian penyelesaian permasalahan di hulu terlebih dahulu. Jangan melangkah pada permasalahan di hilir,” tambahnya.
Tanpa regulasi terkait pembatasan tempat praktik, jelas Adib, sebenarnya sebagian dokter sudah menerapkan itu karena berbagai kondisi. Justru jika pemerintah tergesa menetapkan satu aturan yang mengikat, besar kemungkinan persoalan baru akan muncul.
Senada dengan Adib, Paulus Januar Satyawan dari Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) juga menegaskan pemerintah tidak bisa sendiri memutuskan wacana monoloyalitas ini.
“Memang kita mengharapkan, pengambilan keputusan, termasuk bidang kesehatan, dilakukan secara deliberatif, artinya secara musyawarah mufakat,” kata Paulus.
Dokter, dokter gigi dan rumah sakit, kata Paulus, harus bekerja bersama seluruh pihak yang terkait serta memperhatikan aspirasi yang berkembang. Problem mendasar sektor kesehatan juga disinggung Paulus, misalnya soal komitmen alokasi dana. Undang-undang sudah menetapkan, bahwa lima persen dari APBN dibelanjakan untuk sektor kesehatan.
“Apakah itu sudah terwujud dan apakah sudah efektif dan efisien, kalau sudah terwujud,” tambah Paulus.
Ada juga tantangan kekurangan dokter yang harus diatasi dengan pendidikan maupun peningkatan kualitas pendidikan. DPR dan pemerintah sendiri sedang merintis pembahasan perbaikan atau perubahan Undang-Undang Pendidikan Kedokteran.
Isu lain yang membutuhkan perhatian adalah kesejahteraan dokter dan dokter gigi. Menurut aturan ketenagakerjaan, seseorang dapat menjadi tenaga kontrak seumur hidup. Apakah ketentuan ini juga akan berlaku bagi dokter dan dokter gigi.
“Setahu saja, banyak temen-temen yang kerja di klinik itu enggak jelas statusnya. Dia hanya dapat komisi, enggak ada kontrak. Itu bahkan lebih jelek dari tenaga kontrak, cuma ada perjanjian lisan,” tambah Paulus.
RS Hadapi Kesulitan
Sekjen Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI), Iing Ichsan Hanafi, juga menyuarakan penolakan atas wacana ini.
“Kami tentunya dari Asosiasi Rumah Sakit Swasta, akan kesulitan mencari dokter spesialis ataupun subspesialis bila hal ini diterapkan,” ujarnya.
Sebaiknya, kondisi ini dibiarkan terjadi secara alami. Jika seorang dokter atau dokter gigi memutuskan untuk hanya berpraktik di satu tempat, itu menjadi keputusan yang bersangkutan. Begitu pula jika rumah sakit atau fasilitas kesehatan lain, membuat aturan bagi dokter yang praktik di sana.
“Tapi kalau mau memberlakukan secara umum, tentunya ini akan membuat kesulitan rumah sakit swasta. Rumah sakit pemerintah di daerah juga akan mengalami kesulitan. Jadi sebaiknya tetap berpedoman kepada maksimal tiga tempat praktik dulu,” kata Iing.
Praktik dokter atau dokter gigi terkait dengan kesejahteraan. Jika sudah dokter merasa cukup sejahtera dengan berpraktik di satu atau dua tempat, kata Iing, tentu mereka juga akan berpikir ulang.
“Mereka akan memilih, mana yang terbaik untuk dirinya. Karena saya yakin, teman sejawat juga akan mementingkan kesehatan,” tambahnya. [ns/ah]