Lama menetap di negeri orang tidak membuat sejumlah diaspora Indonesia lantas lupa akan akarnya. Hal tersebut tercermin dalam penyelenggaraan Pemilu 2024.
Banyak dari mereka merasa pesta demokrasi lima tahunan ini tetaplah menjadi bagian penting untuk menentukan nasib para diaspora di perantauan dan juga warga negara Indonesia (WNI) di Tanah Air.
Pasangan suami istri Ayang Cempaka dan Rio Dradjat, yang telah menetap selama 15 tahun di Dubai, Uni Emirat Arab, merasa sayang jika mereka harus melewatkan kesempatan untuk nyoblos begitu saja. Pasangan tersebut datang ke tempat pemungutan suara di Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Dubai dengan membawa harapan masing-masing.
“Kita ingin berpartisipasi dalam pesta demokrasi. Kita enggak mau suara kita terpakai orang lain,” ujar Ayang yang bekerja sebagai illustrator kepada VOA baru-baru ini.
Bagi Ayang dan Rio, isu mengenai perlindungan bagi warga negara Indonesia di luar negeri menjadi aspirasi yang mereka bawa. Tinggal di Uni Emirat Arab, yang menjadi salah satu negara tujuan bagi para pekerja asal Indonesia, membuat pasutri ini familiar dengan kesulitan yang sering dialami oleh para pekerja Tanah Air.
Data dari Bank Indonesia menunjukkan jumlah pekerja Indonesia di Timur Tengah pada kuartal ketiga 2023 mencapai 940.000. Dari jumlah itu, sebanyak 39.000 di antaranya kini bekerja di Uni Emirat Arab.
Senada dengan Ayang dan Rio, isu soal perlindungan pekerja migran juga menjadi perhatian khusus bagi Chaula Rininta Anindya, yang kini tengah menempuh studi S-3 di Kyoto, Jepang.
Chaula menceritakan bahwa ia beberapa kali mendengar kasus penipuan yang dilakukan oleh agen yang mengirimkan pekerja maupun mahasiswa ke Jepang. Kisah tak sedap itu pun tak berhenti di situ karena ia juga menemukan pekerja Indonesia yang mendapat perlakuan buruk dari atasannya di negeri Matahari Terbit tersebut.
Berita lama: Birokrasi yang Menyulitkan
Tak hanya di dalam negeri, isu birokrasi yang kerap menghantui warga negara Indonesia ketika mengurus administrasi juga masih menghantui para diaspora di negeri seberang. Pengalaman Irma Nazar, yang telah menetap selama 12 tahun di Italia, membuktikan kerumitan tersebut.
Pada Pemilu 2024 ini, Irma melihat bahwa banyak warga negara Indonesia (WNI) yang telah lama menetap di Italia tidak dapat menggunakan hak pilihnya karena terdapat aturan baru yang mengharuskan pemilih untuk mendaftarkan dirinya kembali.
“Saya enggak ngerti kenapa enggak menggunakan data lama, tinggal mereka mengecek apakah tetap ikut pemilu atau sudah jadi warga negara asing,” kata Irma, yang berprofesi sebagai wirausaha, kepada VOA. “Banyak pemilih tapi terdaftar di Indonesia, padahal mereka tinggal di sini lama.”
Selain kerumitan soal data pemilih tersebut, Irma, yang ikut mencoblos dengan datang langsung ke kotak suara keliling (KSK) di Milan, mengaku bahwa sosialisasi yang dilakukan oleh panitia pemilihan terkesan mendadak sehingga banyak WNI yang melewatkannya.
Irma masih menganggap bahwa pemilu adalah bagian penting dari demokrasi. Ia membawa harapan khusus dalam pemilu kali ini agar urusan birokrasi bagi para WNI di Italia dapat dipermudah.
“Buat KTP, paspor, birokrasi diperjelas juga. [Pembuatan] KTP sosialisasinya enggak jelas. Kalau saya mau buat surat ini itu, misalnya mau jual [sesuatu], itu mengurusnya setengah mati. Tidak ada sosok yang bisa menjelaskan. Kita tetap punya hak sebagai WNI untuk dilayani,” tambahnya.
Selain harapannya agar kerumitan birokrasi dapat teruraikan, Irma juga menyinggung soal dwi kewarganegaraan mengingat statusnya yang menikahi warga negara asing.
“Saya kawin campur. Saya punya dua anak. Jadi kalau bisa dwi kewarganegaraan untuk anak saya diperjelas. Kalau bisa punya dua [kewarganegaraan]. Juga buat saya. Kalau misalnya anak saya harus milih salah satu, kan itu enggak fair. Anak saya juga harus ada identitasnya juga. Masa [anak] saya satu WNI, satu [lagi] Italia,” pungkasnya.
Isu soal kewarganegaraan ganda dalam Pemilu 2024 sempat disinggung oleh kubu Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar. Seperti dikutip kantor berita Antara, juru bicara partai tim kampanye Anies dan Muhaimin, Muhammad Iqbal mengatakan dwi kewarganegaraan dapat menjadi bentuk pemberdayaan bagi para diaspora.
Carla Soetopo, seorang pekerja asal Bandung yang kini menetap di Strasbourg, Prancis, juga menyoroti hal dwi kewarganegaraan. Carla menyaksikan bahwa banyak WNI yang akhirnya melepas status kewarganegaraan hanya karena tinggal di luar negeri. Menurutnya, hal itu dapat dicegah jika Indonesia menerapkan kebijakan dwi kewarganegaraan.
“...Kalau Indonesia punya dwi kewarganegaraan, kan tidak ada talenta yang terbuang, berguna untuk Indonesia [juga],” katanya.
“Sebagai diaspora, [isu dwikewarganegaraan] terkait dengan izin tinggal. Hidup [menjadi] dipermudah… Saya pernah berkali-kali [mengurus] izin tinggal, administrasi. [Itu semua] makan waktu, energi, mentally dan uang juga sehingga saya jadi muncul pengen pindah warga negara. Jadi kalau saya punya double citizenship jadi lebih mudah,” ujar Carla.
Gaji, Pendidikan dan Kebudayaan
Selain masalah buruh migran dan dwi kewarganegaraan, isu lain yang juga menjadi sorotan adalah mengenai gaji, pendidikan dan kebudayaan yang menjadi alasan bagi diaspora Indonesia untuk berpartisipasi dalam pemilu kali ini.
Jason, pekerja media mandiri Indonesia yang berada di Taipei, Taiwan menggarisbawahi rendahnya gaji di Tanah Air. Ia berharap presiden terpilih akan memberikan perhatian terhadap isu tersebut.
“Menurut saya, gaji pokoknya agak terlalu rendah, jauh lebih rendah dibandingkan di Taiwan,” tukasnya.
Lain lagi dengan Ratnasari, diaspora Indonesia yang juga tinggal di Taipei. Ia memfokuskan pada isu pendidikan. Menurutnya, Indonesia memiliki sumber daya manusia yang melimpah. Namun, ironisnya banyak generasi muda yang hanya memiliki tingkat pendidikan rendah.
"Sulit bagi mereka untuk mendapatkan pekerjaan karena persyaratan kualifikasi untuk mencari pekerjaan agak tinggi. Jadi saya berharap presiden baru bisa mengubah generasi ini. Memberikan pendidikan yang ramah kepada semua orang di Indonesia," ujarnya.
Sementara Gladhys Elliona, diaspora Indonesia yang saat ini tengah berada di Mogi das Cruzes, São Paulo, Brazil, berharap masalah kebudayaan juga turut mendapat perhatian dari para calon pemimpin di masa depan.
“Karena aku nggak liat ada atase kebudayaan di KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia). Aku sebagai pelaku budaya aku merasa penting untuk enhancing (meningkatkan-red) hubungan [dengan] Amerika Selatan di bidang kebudayaan, yang sebetulnya lebih relatable dari negara lain,” ungkapnya. [rs/ah/gg/ft/dw]
** Lin Naijuan, koresponden khusus VOA Taipei, turut berkontribusi terhadap artikel ini.
Forum