Meningkatnya jumlah korban tewas di Gaza membuat warga Michigan keturunan Arab-Amerika yang sebelumnya mendukung Partai Demokrat, berbalik menentang pencalonan presiden petahana AS Joe Biden yang diusung partai itu. Michigan adalah salah satu negara bagian yang suara warganya diperebutkan setiap pemilu karena mereka tidak terafiliasi dengan kandidat presiden atau partai tertentu. Pada pemilu 2020 silam, Biden unggul di Michigan dengan selisih 150.000 suara dari pesaingnya, Donald Trump.
Sebagian warga Michigan berharap dapat mendesak Biden untuk tidak mendukung Israel dan menyerukan gencatan senjata. Sebagian lainnya, termasuk Samra'a Luqman, mengatakan bahwa mereka tidak akan pernah memilihnya.
Luqman, pemimpin gerakan “Abandon Biden” (Tinggalkan Biden), mengatakan, “Satu-satunya cara agar saya memilih Biden adalah jika dia bisa menghidupkan kembali 30.000 orang yang telah meninggal (di Gaza).”
Saat mengampanyekan gerakannya, Luqman dan para anggotanya mendorong pemilih untuk memberikan “uncommitted vote” atau menggunakan hak suara mereka tapi tidak memilih kandidat yang tertera di surat suara. Ia pun mengajak mereka menulis “Bebaskan Palestina” di surat suara dalam pemilihan pendahuluan Michigan pada 27 Februari. Tulisan itu merepresentasikan aksi simbolis, karena Biden tidak memiliki penantang resmi dalam pencalonannya sebagai kandidat presiden dari Partai Demokrat.
Abbas Alawieh, mantan kepala staf Partai Demokrat di Kongres AS dan anggota kelompok gerakan “Listen to Michigan” (Dengarkan Michigan), berkomentar, “Presiden Biden, yang tampaknya memiliki sumber pendanaan dan bantuan tak terbatas untuk mendukung perang Netanyahu, terancam kehilangan suara dari komunitas ini; mungkin tidak hanya untuk November mendatang, tapi juga satu generasi ke depan.”
Listen to Michigan adalah sebuah gerakan yang awalnya bermaksud memberi tekanan pada Biden, namun sejumlah pemilih mengungkapkan kekecewaan mereka terhadapnya kini menjadi permanen.
Jika Bukan Biden, Pilih Trump?
Tekad warga Amerika keturunan Arab untuk tidak memilih Biden sering kali membuat heran para pengamat politik liberal.
Mereka berpendapat: apa yang akan dilakukan oleh komunitas Muslim dan Arab? Apakah mereka akan memilih Donald Trump, calon dari Partai Republik yang memotori kebijakan imigrasi “Muslim Ban” (larangan orang Muslim masuk AS), yang para pendukungnya cenderung menyuarakan gagasan “nasionalisme Kristen”?
Namun, seorang perawat bernama Fatima Elzaghir (27 tahun), mengatakan Trump “tidak sejahat” Biden. “Ini adalah situasi di mana, apapun hasilnya, kami tetap kalah. Saya mempertimbangkan kedua kandidat yang tidak saya dukung, yang kebijakannya bertentangan dengan masyarakat Muslim. Saya rasa saya akan memilih yang tidak lebih jahat. Dan bagi saya, saat ini Trump tidak sejahat (Biden),” ungkapnya.
Warga lainnya, seperti Alawieh, menolak premis dari pertanyaan soal Biden atau Trump.
“Beraninya Anda mendatangi saya dan mengatakan, ‘Oh, tapi nanti, ketika Trump (terpilih), maka itu adalah kesalahan Anda,’” tegasnya. “Hubungi anggota DPR yang mewakili Anda. Katakan kepada mereka bahwa Anda menginginkan gencatan senjata... Setelah kita menghentikan pertumpahan darah ini, baru kita bisa diskusikan konsekuensi politiknya.”
Perpecahan di Serikat Pekerja
Biden juga harus menghadapi serikat pekerja di Michigan, di mana sebagian mulai beralih dari Partai Demokrat yang ramah buruh itu. Banyak pemilih yang berasal dari serikat pekerja dan kelas pekerja mendukung Partai Republik, karena tertarik dengan kebijakan sosial mereka yang konservatif.
Namun bagi Merwan Beydoun, karyawan pabrik baja dan anggota United Autoworkers Union (UAW), konflik Gaza menjadi titik baliknya. “Geram” terhadap Biden, yang didukung UAW, Beydoun mengakhiri kontribusinya kepada sayap politik serikat pekerja itu.
Beydoun masih meyakini “sebagian besar kebijakan Partai Demokrat” dan menolak menjawab bagaimana ia menggunakan hak pilihnya pada November mendatang. Namun, untuk memperoleh suaranya, Beydoun mengatakan bahwa Biden “harus sadar” dan “mengubah kebijakannya.”
Apa Upaya Biden dalam Konflik Gaza?
Untuk meredakan kekhawatiran para pemilih Muslim dan keturunan Arab, pemerintahan Biden melakukan berbagai upaya; salah satunya dengan menunjukkan kefrustrasian presiden AS itu terhadap pemerintahan Israel yang dipimpin Benjamin Netanyahu.
Pada pertengahan Februari lalu, atas permintaan Biden, Israel mengirimkan delegasi untuk merundingkan gencatan senjata di Kairo, Mesir. Tetapi, tidak ada kelanjutan dari perundingan tersebut karena Netanyahu menganggap tuntutan Hamas “tidak masuk akal”.
Biden menyatakan bahwa ia telah berdiskusi panjang dengan Netanyahu untuk mendorong kembali gencatan senjata sementara. Menurut keterangan pihak Gedung Putih, Biden juga mengimbau perdana menteri Israel itu untuk tidak melanjutkan serangan militernya di Rafah tanpa ada perencanaan yang jelas dan matang untuk melindungi warga Palestina di sana.
Meski demikian, AS terus mengirimkan pasokan senjatanya ke Israel sejak serangan Hamas 7 Oktober lalu, sementara upaya Washington untuk memediasi gencatan senjata sementara untuk kedua kalinya pun gagal.
Pada Selasa (20/2), AS kembali memveto resolusi Dewan Keamanan PBB soal gencatan senjata permanen di Gaza, dengan alasan akan menghambat negosiasi pembebasan sandera yang diculik di Israel.
Langkah terbaru Biden adalah mengupayakan kembali gencatan senjata antara Israel dan Hamas, yang menurutnya akan menghentikan permusuhan kedua pihak dan memungkinkan para sandera yang masih berada di tangan Hamas untuk dibebaskan mulai awal minggu depan.
Saat ditanya wartawan, Senin (27/2) mengenai kapan tepatnya gencatan senjata bisa dimulai, Biden menjawab, “Saya berharap pada awal akhir pekan, maksud saya akhir pekan ini, setidaknya penasihat keamanan nasional saya menyampaikan kepada saya bahwa kami sudah semakin dekat (dengan rencana gencatan senjata). Kami sudah semakin dekat, namun ini belum selesai. Dan harapan saya adalah pada Senin depan, kita akan memulai gencatan senjata.” [br/jm]
Forum