SURABAYA —
Sekitar 780 pekerja seks segera dikembalikan ke daerah asalnya, pasca penutupan tiga lokalisasi di Surabaya -- Tambak Asri, Klakah Rejo, dan Sememi -- yang dijadwalkan selesai hingga akhir 2013. Dari sekitar 2.000 lebih PSK yang ada di sejumlah lokalisasi di Surabaya, jumlah terbanyak masih berada di lokalisasi Dolly dan Jarak, yang rencananya juga akan ditutup pada 2014.
Walikota Surabaya Tri Rismaharini mengatakan, langkah ini merupakan penegakan peraturan daerah yang melarang pemanfaatan bangunan sebagai tempat pelacuran.
“Ini bukan menutup, tapi sebetulnya revitalisasi kawasan. Sebetulnya ya, tidak ada yang buka, bagaimana mau nutup. Tapi kalau di Surabaya itu ada Perda (Peraturan Daerah) 1997, kalau tidak 1999, itu yang melarang sebuah bangunan digunakan untuk tempat prostitusi. Saya katakan, saya berikan kesempatan. Tapi begitu kesempatan itu dilewatkan, maka saya akan lakukan sesuai dengan peraturan,” ujar Tri, Kamis (7/3).
Menteri Sosial Salim Segaf Al-Jufri mengatakan pemerintah pusat mendukung langkah pemerintah kota Surabaya untuk menutup sejumlah lokalisasi, dengan tetap memperhatikan hak serta kebutuhan dasar pekerja seks yang mau diberdayakan dengan profesi barunya.
Salim mengatakan, pembinaan dan pendampingan akan terus dilakukan, agar pekerja seks yang dipulangkan tidak lagi kembali pada profesi lamanya.
“Kalau mereka tinggal di sekitar situ, ya mereka kembali ke rumah masing-masing. Kalau mereka tidak memiliki rumah, mereka kembali ke daerah mana dibuatkan rumah yang layak huni. Kemudian pemberdayaan pendampingan tidak kalah penting, karena kita tidak ingin mereka kembali pada profesi awalnya,” ujarnya.
Tri mengatakan langkah penutupan lokalisasi akan lebih mengedepankan pendekatan personal, agar penutupan lokalisasi didasari pada niat pekerja seks maupun mucikari untuk beralih profesi.
“Sebetulnya bukan itu, karena jumlahnya banyak. Ya ini kan masalahnya approachnya orang per orang, gitu kan, kawasan itu kita gusur, bukan seperti itu. Ini approachnya orang per orang, dan kebetulan Dolly dan Jarak itu paling besar jumlahnya. Jadi kenapa kita butuh waktu approach itu, sehingga mereka dengan rela, dengan iklas, mereka meninggalkan itu,” ujar Tri.
Sementara itu, Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Lokalisasi, Syafik mengatakan, keberadaan lokalisasi sebenarnya merupakan wadah untuk membina pekerja seks, untuk meminimalisir meluasnya prostitusi dan potensi penyebaran penyakit menular seksual pada tempat yang tidak terpantau.
“Bahwa lokalisasi itu adalah bagian dari wilayah binaan. (Praktik prostitusi) di jalanan, kemudian di pertokoan, itu ya perlu ada perhatian yang lebih khusus,” ujarnya.
Walikota Surabaya Tri Rismaharini mengatakan, langkah ini merupakan penegakan peraturan daerah yang melarang pemanfaatan bangunan sebagai tempat pelacuran.
“Ini bukan menutup, tapi sebetulnya revitalisasi kawasan. Sebetulnya ya, tidak ada yang buka, bagaimana mau nutup. Tapi kalau di Surabaya itu ada Perda (Peraturan Daerah) 1997, kalau tidak 1999, itu yang melarang sebuah bangunan digunakan untuk tempat prostitusi. Saya katakan, saya berikan kesempatan. Tapi begitu kesempatan itu dilewatkan, maka saya akan lakukan sesuai dengan peraturan,” ujar Tri, Kamis (7/3).
Menteri Sosial Salim Segaf Al-Jufri mengatakan pemerintah pusat mendukung langkah pemerintah kota Surabaya untuk menutup sejumlah lokalisasi, dengan tetap memperhatikan hak serta kebutuhan dasar pekerja seks yang mau diberdayakan dengan profesi barunya.
Salim mengatakan, pembinaan dan pendampingan akan terus dilakukan, agar pekerja seks yang dipulangkan tidak lagi kembali pada profesi lamanya.
“Kalau mereka tinggal di sekitar situ, ya mereka kembali ke rumah masing-masing. Kalau mereka tidak memiliki rumah, mereka kembali ke daerah mana dibuatkan rumah yang layak huni. Kemudian pemberdayaan pendampingan tidak kalah penting, karena kita tidak ingin mereka kembali pada profesi awalnya,” ujarnya.
Tri mengatakan langkah penutupan lokalisasi akan lebih mengedepankan pendekatan personal, agar penutupan lokalisasi didasari pada niat pekerja seks maupun mucikari untuk beralih profesi.
“Sebetulnya bukan itu, karena jumlahnya banyak. Ya ini kan masalahnya approachnya orang per orang, gitu kan, kawasan itu kita gusur, bukan seperti itu. Ini approachnya orang per orang, dan kebetulan Dolly dan Jarak itu paling besar jumlahnya. Jadi kenapa kita butuh waktu approach itu, sehingga mereka dengan rela, dengan iklas, mereka meninggalkan itu,” ujar Tri.
Sementara itu, Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Lokalisasi, Syafik mengatakan, keberadaan lokalisasi sebenarnya merupakan wadah untuk membina pekerja seks, untuk meminimalisir meluasnya prostitusi dan potensi penyebaran penyakit menular seksual pada tempat yang tidak terpantau.
“Bahwa lokalisasi itu adalah bagian dari wilayah binaan. (Praktik prostitusi) di jalanan, kemudian di pertokoan, itu ya perlu ada perhatian yang lebih khusus,” ujarnya.