Penutupan sekitar 70 lokalisasi di Jawa Timur dengan 5.000 lebih Pekerja Seks Komersial (PSK), terutama di beberapa daerah seperti Surabaya, Blitar, Nganjuk, Tulungagung, Banyuwangi maupun beberapa daerah lainnya, diharapkan tidak sekedar menutup tanpa memberikan solusi yang tepat bagi penyelesaian masalah di balik persoalan prostitusi.
Persoalan prostitusi di Jawa Timur telah menjadi perhatian serius pemerintah baik di tingkat provinsi maupun pusat, karena banyak permasalahan muncul dari persoalan prostitusi, seperti kriminalitas, narkoba, HIV/ AIDS, serta banyak masalah lain terutama di bidang ekonomi.
Gubernur Jawa Timur Soekarwo mengatakan, penutupan lokalisasi harus dilakukan dengan pendekatan khusus, agar tidak muncul permasalahan-permasalahan lain yang terjadi pasca penutupan lokalisasi.
“Semuanya prinsipnya penutupan tanpa relokasi, judulnya itu, penutupan tanpa relokasi, hanya penutupannya seperti apa, dia diajak bicara. Jangan sampai mereka itu menjadi obyek terhadap program saja, tapi dia subyek terhadap solusi itu. Ini kan harus ngajak orang, harus dibicarakan,” ujar Soekarwo.
Soekarwo menambahkan, pengentasan para Pekerja Seks Komersial (PSK) akan dilakukan dengan pembinaan mental dan spiritual melalui para pemuka agama, pelatihan dan pendampingan untuk bekal bekerja di perusahaan, serta pemberian bantuan modal wirausaha sebesar 3 juta rupiah per-orang.
Soekarwo menegaskan, pihaknya tidak akan mengejar kuantitas Pekerja Seks Komersial (PSK) yang dientaskan, namun lebih pada kualitas yaitu berhentinya para Pekerja Seks Komersial (PSK) dengan kesadaran sendiri.
“Solusinya tidak hanya masalah ekonomi, yang menonjol di bidang ekonomi. Tapi pelacuran itu bukan hanya permasalahan ekonomi. Jadi banyak orang miskin juga yang tidak jadi WTS (Wanita Tuna Susila),” papar Soekarwo.
Sementara itu, pemerintah pusat melalui Kementerian Sosial berencana akan memulangkan para Pekerja Seks Komersial (PSK), ke tempat yang baru dan bukan merupakan daerah asal mereka. Menteri Sosial Salim Segaf Al-Jufri mengatakan, pendampingan dan pembinaan para pelacur dengan usaha yang mandiri di tempat baru, diharapkan dapat mencegah para Pekerja Seks Komersial (PSK) untuk kembali lagi ke dunia prostitusi.
Salim Segaf Al-Jufri menjelaskan, “Yang kita inginkan dikembalikan juga ke daerah yang bukan daerah asal juga, agar sejarah mereka yang baru sejarah yang indah juga, kemudian juga ada pendampingan, pemberdayaan, kira-kira apa, sebab hampir lebih dari 70-80 persen mereka melakukan hal-hal tersebut karen kemiskinan juga. Oleh karena itu harus diberdayakan, dicarikan usaha yang sesuai dengan kondisi mereka masing-masing, mereka bukan hanya obyek saja, tapi mereka menjadi subyek untuk mencari sesuatu yang sesuai dengan keterampilan mereka dan seterusnya.”
Upaya penutupan dan pemulangan para Pekerja Seks Komersial (PSK) seperti yang dilakukan pemerintah, diragukan keberhasilannya oleh beberapa aktivis pendampingan Pekerja Seks Komersial (PSK). Vera, seorang aktivis pendamping Pekerja Seks Komersial (PSK) mengatakan, perlu upaya pendekatan secara pribadi yang intensif dan terus menerus untuk mengubah seseorang sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK). Pemerintah diharapkan tidak sekedar mengedapankan faktor ekonomi, karena masalah pelacuran yang sulit dihilangkan bukan semata-mata disebabkan oleh masalah ekonomi.
“Jadi apa yang kami lakukan selama ini sejak tahun 1987 sampai sekarang, adalah bukan hal yang mudah, tidak semudah membalik tangan. Ada pendekatan, ada konseling, mereka harus dihargai, mereka harus juga minta musyawarah, dan tutor-tutor disana juga bukan tutor-tutor yang kita ambil dari orang-orang yang tidak mengerti tentang psikologi dia, tapi dari mantan-mantan PSK yang sudah berhasil,” demikian penuturan Vera.
Persoalan prostitusi di Jawa Timur telah menjadi perhatian serius pemerintah baik di tingkat provinsi maupun pusat, karena banyak permasalahan muncul dari persoalan prostitusi, seperti kriminalitas, narkoba, HIV/ AIDS, serta banyak masalah lain terutama di bidang ekonomi.
Gubernur Jawa Timur Soekarwo mengatakan, penutupan lokalisasi harus dilakukan dengan pendekatan khusus, agar tidak muncul permasalahan-permasalahan lain yang terjadi pasca penutupan lokalisasi.
“Semuanya prinsipnya penutupan tanpa relokasi, judulnya itu, penutupan tanpa relokasi, hanya penutupannya seperti apa, dia diajak bicara. Jangan sampai mereka itu menjadi obyek terhadap program saja, tapi dia subyek terhadap solusi itu. Ini kan harus ngajak orang, harus dibicarakan,” ujar Soekarwo.
Soekarwo menambahkan, pengentasan para Pekerja Seks Komersial (PSK) akan dilakukan dengan pembinaan mental dan spiritual melalui para pemuka agama, pelatihan dan pendampingan untuk bekal bekerja di perusahaan, serta pemberian bantuan modal wirausaha sebesar 3 juta rupiah per-orang.
Soekarwo menegaskan, pihaknya tidak akan mengejar kuantitas Pekerja Seks Komersial (PSK) yang dientaskan, namun lebih pada kualitas yaitu berhentinya para Pekerja Seks Komersial (PSK) dengan kesadaran sendiri.
“Solusinya tidak hanya masalah ekonomi, yang menonjol di bidang ekonomi. Tapi pelacuran itu bukan hanya permasalahan ekonomi. Jadi banyak orang miskin juga yang tidak jadi WTS (Wanita Tuna Susila),” papar Soekarwo.
Sementara itu, pemerintah pusat melalui Kementerian Sosial berencana akan memulangkan para Pekerja Seks Komersial (PSK), ke tempat yang baru dan bukan merupakan daerah asal mereka. Menteri Sosial Salim Segaf Al-Jufri mengatakan, pendampingan dan pembinaan para pelacur dengan usaha yang mandiri di tempat baru, diharapkan dapat mencegah para Pekerja Seks Komersial (PSK) untuk kembali lagi ke dunia prostitusi.
Salim Segaf Al-Jufri menjelaskan, “Yang kita inginkan dikembalikan juga ke daerah yang bukan daerah asal juga, agar sejarah mereka yang baru sejarah yang indah juga, kemudian juga ada pendampingan, pemberdayaan, kira-kira apa, sebab hampir lebih dari 70-80 persen mereka melakukan hal-hal tersebut karen kemiskinan juga. Oleh karena itu harus diberdayakan, dicarikan usaha yang sesuai dengan kondisi mereka masing-masing, mereka bukan hanya obyek saja, tapi mereka menjadi subyek untuk mencari sesuatu yang sesuai dengan keterampilan mereka dan seterusnya.”
Upaya penutupan dan pemulangan para Pekerja Seks Komersial (PSK) seperti yang dilakukan pemerintah, diragukan keberhasilannya oleh beberapa aktivis pendampingan Pekerja Seks Komersial (PSK). Vera, seorang aktivis pendamping Pekerja Seks Komersial (PSK) mengatakan, perlu upaya pendekatan secara pribadi yang intensif dan terus menerus untuk mengubah seseorang sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK). Pemerintah diharapkan tidak sekedar mengedapankan faktor ekonomi, karena masalah pelacuran yang sulit dihilangkan bukan semata-mata disebabkan oleh masalah ekonomi.
“Jadi apa yang kami lakukan selama ini sejak tahun 1987 sampai sekarang, adalah bukan hal yang mudah, tidak semudah membalik tangan. Ada pendekatan, ada konseling, mereka harus dihargai, mereka harus juga minta musyawarah, dan tutor-tutor disana juga bukan tutor-tutor yang kita ambil dari orang-orang yang tidak mengerti tentang psikologi dia, tapi dari mantan-mantan PSK yang sudah berhasil,” demikian penuturan Vera.