Sejak diperpanjangnya masa tanggap darurat penanganan dampak gempa bumi dan tsunami di Palu, Sigi dan Donggala hingga 26 Oktober 2018, pemerintah mulai pembangunan “hunian sementara” (huntara) sebagai lokasi tempat tinggal yang akan dihuni puluhan ribu warga Palu, Sigi dan Donggala yang kini hidup di tenda-tenda di berbagai lokasi pengungsian. Gubernur Sulawesi Tengah, Longki Djanggola, seusai kegiatan serah terima huntara yang dibangun oleh pemerintah provinsi Jawa Tengah di Petobo, Palu Selatan (20/10) mengatakan target awal adalah membangun 1.200 unit huntara dalam dua bulan ke depan. Ini diperkirakan akan dapat menampung setidaknya 60 ribu orang.
"Sesuai dengan janji pemerintah. Pemerintah mempersiapkan 1.200 unit, itu setara dengan kurang lebih hampir 15.000 bilik. Kalau 15.000 bilik ini kita kali kurang lebih 4 orang per satu kepala keluarga maka baru bisa menampung 60 ribu pengungsi. Pengungsi saat ini tercatat hampir 97 ribu," kata Longki.
Banyak Pihak Siap Bangun Huntara untuk Pengungsi
Kekurangan itu dipastikan akan ditangani dengan dukungan dan partisipasi dengan berbagai pihak yang telah menyatakan komitmen untuk ikut membangun huntara sehingga seluruh pengungsi akan tertampung.
“Kurang itu dalam artian bukan pemerintah tidak akan tanggung, pasti akan ditanggung. Tambah lagi adanya partisipasi-partisipasi seperti Gubernur Jawa Tengah seperti ini, ada dari berbagai komponen masyarakat. Saya optimis bahwa jumlah akan dihuni oleh pengungsi yang sudah resmi tercatat itu Insya Allah akan tercukupi," tambah Longki.
Dokter Budi Laksono, koordinator pembangunan huntara di Petobo mengatakan pembangunan huntara ini merupakan sumbangan pemerintah dan warga Jawa Tengah yang bersimpati dengan penderitaan warga masyarakat Sulawesi Tengah yang terdampak bencana alam. Setiap blok huntara terdiri atas 4 – 7 bilik. Setiap bilik dapat dihuni satu keluarga dengan luas setiap biliknya yaitu 3 x 4,5 meter persegi.
"Pada dasarnya Huntara yang dibangun dari masyarakat Jawa Tengah saat ini hanya 100, jauh sedikit dari pada yang dibutuhkan. Tetapi tujuan pembangunan ini adalah untuk sharing untuk semua instansi yang terlibat. Dari sisi akademis, membangun rumah huntara itu cepat, kita tunjukkan hanya seminggu kita selesai 100 rumah, dan itu ditenagai relawan-relawan, bukan orang profesional," jelas Budi.
Libu Perempuan Serukan Pembangunan Huntara yang Tetap Pertimbangkan Kebutuhan Perempuan
Ditemui secara terpisah, Dewi Rana Amir, Direktur Perkumpulan Libu Perempuan, berharap pembangunan huntara juga dilakukan dengan mempertimbangkan aspek perlindungan terhadap perempuan dan remaja putri yang kini harus ikut dengan keluarga lain, setelah kehilangan orang tua mereka dalam bencana alam itu.
Huntara, menurut Dewi, perlu menyediakan ruang-ruang khusus yang dapat digunakan untuk perempuan dapat berganti pakaian dengan aman, kegiatan menyusui untuk ibu yang memiliki bayi serta keberadaan akses kamar mandi dan toilet serta air bersih yang mudah diakses bagi ibu-ibu hamil. Ia menekankan penting agar desain pembangunan huntara dilakukan dalam perspektif gender yaitu dengan mendengar suara aspirasi perempuan.
“Saya berharap sebetulnya huntara itu, selain untuk perempuan yang punya anak balita, baik juga bagi remaja-remaja putri yang memang sangat rentan dengan situasi di pengungsian. Bicara perspektif gender itu kan perspektif yang sebetulnya mengedepankan atau melibatkan suara perempuan ketika membangun suatu hunian,” ujarnya.
Huntara Jadi Tempat Tinggal Setidaknya untuk Dua Tahun ke Depan
Dalam konsep pemerintah, konstruksi huntara akan tahan gempa serta lebih tahan terhadap cuaca apalagi menjelang tibanya musim hujan. Setiap huntara akan dilengkapi empat toilet, empat kamar mandi, septik tank, tempat mencuci dan dapur serta aliran listrik dengan daya 450 watt di setiap biliknya.
Saat selesai dibangun, warga terdampak gempa bumi dan tsunami akan dipindahkan dari tenda-tenda pengungsian ke huntara yang akan menjadi tempat tinggal sementara setidaknya dalam dua tahun, hingga pemerintah selesai membangun hunian tetap di lokasi-lokasi yang telah disiapkan.
Pemerintah Nyatakan Petobo dan Balaroa Tak Layak Lagi Ditinggali
Khusus untuk kawasan permukiman terdampak likuifaksi seperti Petobo dan Balaroa, pemerintah dengan tegas menyatakan kedua lokasi itu tidak layak untuk kembali dijadikan kawasan pemukiman penduduk, sehingga seluruh warga dari dua lokasi itu akan direlokasi ke tempat lain. [yl/em]