Apa saja manfaat bulan Ramadan yang dimuliakan umat Islam?
Penyair dan penulis esai Kazim Ali yang berdomisili di AS, menuangkannya dalam buku "Fasting for Ramadan." Dalam buku tersebut, ia menuangkan pengalamannya berpuasa saat kanak-kanak, pergulatannya dengan kebimbangan saat beranjak dewasa dan keputusannya untuk kembali merengkuh ibadah berpuasa.
Ali, pria kelahiran London, dibesarkan oleh orang tuanya yang Muslim Shi’ite dan sekarang mengajar di Oberlin College di Ohio.
Menurut Ali, keluarganya cukup tradisional, tapi hanya Ali dan ibunya saja yang menjalankan puasa selama Ramadan. Ia mengenang saat-saat ia belajar berpuasa sewaktu ia kecil.
“Itu merupakan saat-saat yang sangat istimewa bagi saya,” katanya. “Begitulah kami menjalani kehidupan kami sepanjang siang, dan semua orang di sana ikut menjalankan hal yang sama, sehingga mereka bisa mengerti bagaimana rasanya berpuasa. Apabila sudah tiba sore menjelang malam, saya akan duduk dan memperhatikan ibu saya makan. Biasanya kita berbuka puasa dengan makan kurma dan minum air hangat. Dan, dia akan mengambil sedikit kurma dan saya sangat menikmati saat-saat istimewa itu.”
Namun saat beranjak dewasa, Ali mencatat beberapa kontradiksi dalam ayat-ayat Al-Qur'an dan lalu berhenti berpuasa.
"Apa artinya ini, apa artinya itu?" Ali bertanya-tanya. "‘Bagaimana pengaruhnya dalam hidupku?"
Namun setelah beberapa lama, Ali menyimpulkan Islam sebagai sebuah wujud agama yang pluralistik. "Dan menurut saya, ini sangat menggairahkan dan dinamik," tambahnya.
Ali lalu memutuskan untuk mulai berpuasa lagi. Di tahun 2007, dia terus menyimpan jurnal mengenai kesehariannya di bulan Ramadannya dan pada tahun 2009, Ali mempublikasikan blog harian .
Ali menggabungkan jurnal dan blognya menjadi sebuah buku, "Fasting for Ramadan: Notes from A Spiritual Practice" (Berpuasa Ramadan: Catatan dari Kebiasaan Spiritual). Di dalam buku tersebut, ia menyebut bahwa yang terberat saat berpuasa adalah jam-jam pertama. Namun setelah itu, rasa lapar akan berkurang.
“Dalam kenyataannya, Anda nyaris melupakan makanan. Saya sendiri menjadi lebih tenang. Saya mulai menyadari ternyata perlu energi untuk menjadi marah ataupun bahagia dalam hal-hal yang positif sekalipun. Dan, perlu kalori untuk bisa memiliki berbicara. Sebenarnya yang mengejutkan adalah ternyata perlu kalori juga untuk berpikir.”
Ali juga mengintegrasikan yoga dalam pengalaman Ramadannya. Dia merasakan manfaat ketenangan spiritual yang dirasakannya sepanjang siang dapat mengatur emosi dan suasana hatinya setelah berbuka puasa.
Di bawah ini cuplikan dari hari keempat dari Jurnal Ramadannya:
“Pelajaran yoga mengingatkan saya bahwa ‘suasana hati’ kita bukanlah diri yang sesungguhnya. Saya pikir itu adalah pribadi yang sejati. Seperti dalam Musik Indian Klasik: ada melodi yang dipetik, namun juga ada gema sebagai latar belakangnya, sebuah not yang konstan.”
Ali menekankan bahwa berpuasa adalah aktivitas fisik dan spiritual, bukan intelektual.
“Meski Anda tidak memikirkan hal itu sekalipun, masih terjadi sesuatu dalam tubuh Anda,” katanya. “Jika hal tersebut terjadi dalam tubuh Anda, hal tersebut terjadi juga di otak dan penalaran, yang mana semua itu adalah bagian dari pengelolaan dalam tubuh. Jadi, 30 hari berpuasa akan mengubah Anda, baik Anda memikirkannya atau tidak.”