Pengamanan ketat di ibu kota Washington DC menjelang pelantikan presiden karena potensi terjadinya ancaman dari dalam, serta ketidakhadiran Presiden Donald Trump dalam upacara serah terima kekuasaan di Amerika, menimbulkan keprihatinan banyak kalangan. Beberapa pengamat bahkan khawatir hal ini akan menjadi preseden bagi negara-negara lain.
Sebagian ibu kota Washington DC di-lockdown. Pagar besi setinggi tiga meter, yang sebagian dipasangi kawat berduri, mengelilingi gedung Kongres yang menjadi simbol demokrasi dunia. Sebagian pagar besi ini juga dipasang hingga ke arah Monumen Nasional.
Jalan-jalan juga ditutup dan dijaga aparat keamanan. Belasan stasiun kereta api ditutup dan layanan transportasi umum dialihkan. Sedikitnya 25.000 personil pasukan Garda Nasional bersenjata lengkap berjaga-jaga di sekitar gedung Kongres, sebagian berada di dalam gedung.
Ini semua karena adanya kekhawatiran terjadinya potensi ancaman dari dalam. Beberapa pejabat hari Minggu (17/1) memperingatkan adanya ancaman yang diduga dari orang-orang yang ditugaskan mengamankan upacara pelantikan presiden dan ini membuat Biro Penyidik Federal FBI kini sedang memeriksa ulang kembali latar belakang setiap personil yang bertugas, termasuk personil Garda Nasional.
Pejabat yang bertanggung jawab pada Angkatan Darat Amerika Ryan McCarthy mengatakan kepada Associated Press, “Kami secara terus menerus mengevaluasi proses ini, dan kembali melakukan kajian kedua, ketiga, pada setiap individu yang ditugaskan dalam operasi ini.” Ia juga mengatakan bahwa personil yang bertugas sudah diperingatkan dan diarahkan untuk mengantisipasi masalah apapun di dalam setiap level. Namun McCarthy juga menegaskan bahwa sejauh ini belum ada bukti akan terjadinya ancaman tersebut.
Semua persiapan keamanan dan kekhawatiran potensi ancaman ini muncul setelah penyerbuan Kongres oleh para pendukung Presiden Trump 6 Januari lalu, yang menewaskan lima orang, termasuk seorang polisi Capitol.
Ciri “Democratic Discontent?”
Pengamat Amerika di Paramadina Public Policy Institute Dr. Abdul Malik Gismar menyayangkan hal ini karena menurutnya dunia melihat Amerika tidak saja sebagai sebuah negara adi daya, tetapi juga potret demokrasi.
“Ini sebetulnya sangat menyedihkan karena saat ini we are lost an idea of America. Karena buat dunia, Amerika ini bukan hanya sekedar negara, tetapi juga sebagai an idea of democracy, an idea that we can hold a free and fair election, an idea that transfer of power can be done peacefully. Kita yang sedang bertransisi menuju demokrasi, selama ini khan sering 'diajari' untuk to have a consolidate-demoracy. Seperti apa itu? Ya seperti Amerika, di mana demokrasi is the only game in town. Ini bahasa-bahasa yang kita pegang dan ikuti betul, terutama di kalangan kelompok yang ingin benar-benar membangun demokrasi. Amerika jadi rujukan! Mengajarkan bahwa pemilu bisa berlangsung aman, peralihan kekuasaan biasa-biasa saja, tidak perlu berantem. Tetapi sekarang ini Amerika seakan-akan kehilangan itu semua. Dan saya kira membangun kembali hal ini bakal membutuhkan banyak waktu. Bagaimana memulihkan ketidakpercayaan. Its a huge loss to see America like this,” kata Malik.
Mengutip pandangan pakar politik Amerika Michael Sandel, Abdul Malik Gismar menyebut fenomena ini sebagai “democracy discontent.”
“Ini yang disebut democratic discontent. Di Amerika sebenarnya sudah lama orang bicara tentang hal ini, di mana demokrasi tidak lagi dapat digunakan untuk menjawab ketidakadilan sosial. Jika dulunya kekecewaan akan ketidakadilan sosial ini hanya muncul dalam diskusi dan perdebatan atau demonstrasi dan mogok makan, kini muncul di jalan-jalan, dan terus meluas menjadi ketidakpercayaan pada pemerintah. Ini karena tidak pernah ada jawaban yang memuaskan dan akhirnya bergulir mempertanyakan democracy itself, the system itself. Kini ini tidak saja menjadi political discontent, tetapi juga ethnic discontent, terlihat dalam serangan di Kongres kemarin khan?”
Pemulihan Ekonomi Dinilai Bisa Jadi Jalan Keluar
Pakar politik Universitas Indonesia Dr. Suzie Sudarman menilai fenomena yang tidak biasa ini tampak ketika demi politik, sebagian pandangan warga ditekan.
“Political corectness telah meng-compress sebagian suara yang ingin menunjukkan identitasnya, demi memiliki demokrasi yang civilized di mana orang-orang tidak saling menghujat tapi membahas perbedaan mereka secara sehat. Political correctness ini sedianya diikat oleh simpul besar yaitu persatuan bangsa. Tetapi tidak semua akhirnya bisa baik-baik saja, tetap ada mereka yang merasa ditekan dan sesekali keluar seperti yang kita lihat di Kongres tanggal 6 Januari lalu itu,” ujarnya.
Menurut Suzie Sudarman, pemulihan demokrasi di Amerika dapat berjalan lebih cepat jika didukung dengan pemulihan ekonomi. “Ekonomi yang baik, yang bisa memberi manfaat pada semua orang, dapat membuat orang juga merasa kohesi sosial baik-baik saja dan mendukung upaya pemulihan demokrasi.”
Kedua pakar yang diwawancarai VOA sepakat bahwa dibutuhkan waktu lama untuk memulihkan demokrasi di Amerika, yang tentunya tidak saja dinantikan oleh warganya sendiri, tetapi juga warga dunia. [em/jm]