Deputi Geofisika BMKG Muhammad Sadli mengatakan sesuai amanat undang-undang seharusnya ada batas wilayah aman yang tidak boleh dibangun pemukiman masyarakat demi alasan keamanan, sehingga kalaupun terjadi bencana akan meminimalisir baik dari sisi kerugian materi maupun korban jiwa. Itulah sebabnya perlu digalakkan penataan tata ruang, terutama di wilayah rawan bencana.
“Penataan ruang. Itu penting sekali, kenapa orang bisa membangun sangat dekat dengan pantai, harusnya kan ada Amdal ya, berapa meter dari pantai yang kita sudah tahu bahwa itu rawan, rawan tsunami. Kenapa masih ada bangunan di tepi pantai itu, atau pabrik dan sebagainya. Sehingga penegakan aturan itu sangat penting sekali, itu juga salah satu mitigasi yang sangat penting untuk ditindaklanjuti,” ungkap Sadli.
Dalam acara Mitigasi Bencana Masih Jadi PR, di Jakarta, Kamis (3/1) ia mengatakan, pemerintah daerah (Pemda) harus terdepan dalam melakukan mitigasi bencana karena mereka yang paling dekat dengan masyarakat dibandingkan dengan pemerintah pusat.
Menurutnya, ke depan, pemda yang wilayahnya rawan bencana harus lebih menggalakkan lagi berbagai edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat tentang mitigasi bencana seperti melakukan berbagai pelatihan, atau bahkan menambah anggaran untuk membuat sistem peringatan dini bencana, sehingga masyarakat pun bisa menjadi lebih peduli, dan siap siaga kalau terjadi bencana.
Indonesia Ajak Jepang Buat Alat Deteksi Tsunami akibat Aktivitas Gunung Berapi
Dengan kejadian tsunami di Selat Sunda ini, kata Sadli, pihaknya sedang melakukan koordinasi dengan berbagai pihak seperti pihak Jepang untuk kedepannya bisa membuat alat untuk mendeteksi tsunami yang disebabkan oleh aktivitas gunung api. Untuk saat ini, di seluruh dunia pun, belum ada alat yang bisa mendeteksi tsunami yang disebabkan oleh aktivitas vulkanik.
Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM, Rudy Suhendar mengatakan bahwa 4,5 juta masyarakat Indonesia terancam berada di daerah rawan letusan gunung api. Di Indonesia sendiri terdapat 127 gunung api yang aktif, atau yang paling banyak di dunia. Namun yang diawasi oleh pos pengamatan gunung api selama 24 jam hanya 69 gunung api saja, karena tingkat risiko yang berbeda-beda.
Dengan data tersebut, sebenarnya pihaknya telah melakukan peta kawasan rawan bencana gunung api, gempa bumi, tsunami, dan gerakan tanah. Hal tersebut sudah disampaikan kepada Pemda dan otoritas yang menggunakannya. Bahkan peta kawasan rawan bencana di pesisir Banten dan Lampung pun sudah di rekomendasikan kepada pemda setempat sejak 2009. Namun implementasi Pemda setempat untuk membuat tata ruang yang kuat berbasis kebencanaan dan membuat mitigasi diakuinya masih sangat rendah.
"Sering dikatakan bahwa tata ruang menjadi tulang pungung dari mitigasi bencana. Itu betul, tata ruang adalah bagian terdepan garda mitigasi bencana, hanya ya memang sudah didukung oleh regulasi, UU 24 maupun UU 26, UU tata ruang, itu sudah menjadi mendukung bahwa bencana menjadi satu kepentingan pokok dalam suatu penataan tata ruang, namun kita akui implementasi dan law enforcement-nya yang masih kurang sehingga selalu bila ada bencana masih ada korban. Kami semua sudah terus tidak berhenti baik melakukan sosialisasi , tapi dari kejadian itu masih mengorbankan jiwa, masih mengorbankan materi," ujar Rudy.
Indonesia Rawan Bencana, Jumlah Sistem Peringatan Dini Harus Ditambah
Sementara itu pakar vulkanologi Indonesia, Surono, mengatakan sebenarnya berbagai rekomendasi yang telah dibuat oleh oleh Badan Geologi cenderung selalu diacuhkan oleh pemda setempat maupun masyarakat. Namun minimnya sistem peringatan dini di daerah rawan bencana, serta masih kurangnya edukasi mitigasi bencana kepada masyarakat, membuat jumlah korban jiwa dan kerusakan fisik masih besar.
Laki-laki yang akrab dipanggil Mbah Rono ini pun mengatakan harus ada upaya paksa kepada pemda setempat maupun masyarakat untuk mematuhi rekomendasi yang dibuat oleh berbagai instasi terkait kebencanaan, sehingga semua pihak bisa lebih siap dalam menghadapi bencana. Kawasan Indonesia yang dikeliling cincin api, atau banyak daerah rawan bencana ini harus disikapi dengan berbagai kesiapan, dan ketangguhan disertai dengan sosialisasi masif kepada masyarakat, bukan dengan ketakutan.
"(Misalnya), Likuifaksi di Palu (apakah) sudah ada penilitiannya? Sudah pada tahun 2012, kadang-kadang kan dulu saya masih tanda tangan rekomendasi. Kalau tidak diperlukan mendadak oleh Pemda, ya jangan dipakai itu. Rekomendasi itu seperti peringatan dalam rokok itu, kalau rokok saja ya sudah. Jadi ada sebenarnya itu, misalnya rekomendasi terjadi longsor, di Badan Geologi sampai sekarang masih ada, ada tanggap darurat. Jadi memang harus ada upaya paksa, saya kira Badan Geologi tidak punya upaya paksa kan, tidak punya kewenangan untuk itu, hanya untuk selidiki ya sudah, jadi saya kira jangan salahkan," tukas Surono. (gi/em)