Tautan-tautan Akses

Penggunaan AI Persulit Pengawasan terhadap Disinformasi Pemilu AS


Tangkapan layar dari sebuah video deepfake yang menyasar pemilu AS. Para ahli melacak asal muasal pembuatannya di Rusia (foto: ilustrasi).
Tangkapan layar dari sebuah video deepfake yang menyasar pemilu AS. Para ahli melacak asal muasal pembuatannya di Rusia (foto: ilustrasi).

Para pemilih dalam pemilu presiden AS tahun ini, rentan terhadap pelaku-pelaku jahat yang menggunakan kecerdasan buatan (AI) untuk menciptakan disinformasi yang menguntungkan politisi saingannya atau mendukung kepentingan pemerintah asing. 

Kecerdasan buatan (AI) muncul dalam pemilu kali ini, seperti dalam foto Donald Trump yang sedang memeluk pakar penyakit menular Dr. Anthony Fauci, sebuah foto yang dibuat oleh komputer. Juga foto palsu Joe Biden yang meminta para pemilih di New Hampshire untuk melewatkan pemilihan pendahuluan mereka.

Pakar media Elaine Kamarck dari Brookings Institution mengatakan bahwa terjadinya pemalsuan (deepfake) pada masa pemilu inilah yang sangat berbahaya.

“Bahkan 24 jam sebelum pemilu, seseorang menyebarkan informasi palsu atau rancu. Sangat sulit untuk dilawan, dan jika antara dua calon bersaing ketat, hal ini dapat menjadi penentu antara menang dan kalah.”

Perusahaan DeepMedia milik Rijul Gupta membantu Pentagon mendeteksi deepfake, yang menurutnya populer karena murah dan mudah dibuat.

“Pada akhirnya, dibutuhkan waktu hanya 15 menit untuk membuat deepfake. Ada banyak layanan online gratis. Jika Anda ingin membayar untuk yang kualitasnya lebih baik, sebuah klip audio berdurasi 30 detik mungkin hanya membayar dua sen.”

Pengacara dan pembela kebebasan berpendapat, Ari Cohn mengatakan, “Ada banyak percakapan mengenai Rusia, namun China juga ikut dalam perlombaan AI untuk berusaha menjadi yang terdepan.”

Cohn mengatakan operasi luar negeri yang paling canggih bertujuan menyebarkan informasi rancu (disinformasi) politik kepada orang-orang Amerika yang berpengaruh, agar mereka dapat meneruskannya kepada orang lain.

Perusahaan-perusahaan teknologi dan platform media sosial terbesar di AS secara sukarela berjanji akan melakukan pengawasan terhadap AI dalam kampanye politik, namun belum ada undang-undang federal yang mengatur praktik tersebut.

Kembali Ari Cohn menambahkan lewat Skype, “Sangat, sangat sulit mengatur pembicaraan politik di AS. Amandemen Pertama melindungi omongan politik dengan sangat kuat dan alasannya baik sebenarnya: yaitu kami tidak ingin pemerintah ikut campur dalam mempengaruhi pemilu.”

Gupta mengatakan, sebagian besar kesulitannya ada pada pembedaan antara sesuatu yang salah dan sesuatu yang merupakan penggambaran sebuah isu yang mungkin tidak disetujui oleh seseorang. Jadi, bagaimana kita mengetahui hal itu merupakan sebuah penipuan politik?

"Biasanya mutu audionya buruk - itu petunjuk bahwa ini mungkin dihasilkan oleh AI. Mungkin terdengar konyol atau sepele. Jadi jika Anda sedang berkomunikasi lewat video dengan seseorang dan Anda mencurigai kalau dia adalah palsu (hasil buatan AI), maka lakukan pengujian pada lawan bicara Anda,” ujarnya.

Sementara Cohn mengatakan, AI dapat digunakan untuk hal yang baik dalam politik. AI memungkinkan kandidat untuk menjangkau komunitas diaspora dalam bahasa mereka sendiri, dan memberi wawasan yang lebih baik mengenai perilaku pemilih pada organisasi kampanye, sehingga mereka dapat menyesuaikan pesan mereka dengan lebih baik. [ps/jm]

Forum

XS
SM
MD
LG