Meski mengandung masalah, pemilihan kepala daerah secara langsung tidak seharusnya diganti oleh penunjukan kepala daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) karena akan mengancam sistem demokrasi, ujar aktivis Ray Rangkuti dari lembaga Lingkar Madani.
Ray menanggapi rencana DPR untuk menghapuskan pemilihan kepala daerah secara langsung, sebuah langkah yang didorong oleh para anggota parlemen yang bergabung dalam Koalisi Merah Putih, pendukung kandidat presiden yang kalah Prabowo Subianto.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat ini sedang membahas Rancangan Undang-undang pemilu kepala daerah yang rencananya akan disahkan akhir September.
Dalam pembahasan tersebut, para anggota Koalisi, yang memiliki suara mayoritas di DPR, menyetujui pengembalian mekanisme pemilihan kepala daerah seperti pada zaman Orde Baru, yaitu ditunjuk oleh DPRD.
Ray mengatakan selama ini penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara langsung memang masih memiliki masalah termasuk boros biaya, dan sering berujung sengketa yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi serta borosnya biaya.
Meski demikian, tambahnya, bukan berarti demokrasi Indonesia harus mundur.
Ray menyatakan pemilihan kepala daerah secara langsung tidak perlu diganti, melainkan diperbaiki karena perilaku penyelenggara pemilihan yang terkadang tidak mempunyai integritas.
Ia menambahkan bahwa penunjukan kepala daerah oleh DPRD akan menghasilkan para pemimpin kepala daerah yang tidak berkualitas karena dikhawatirkan terjadi politik transaksional di parlemen.
Ray melihat adanya skenario dari Koalisi Merah Putih untuk melumpuhkan efektivitas dan efisiensi kinerja pemerintahan presiden terpilih Joko "Jokowi" Widodo dan wakilnya Jusuf Kalla.
"Lebih bersifat balas dendam dan sakit hati menurut saya. Sakit hari karena tidak lolos. Balas dendam karena misalnya diperlakukan tidak wajar oleh penyelenggara, Mahkamah Konstitusi dan macam-macam. Tetapi korban dari ini adalah masa depan demokrasi kita," ujarnya.
Herman Kadir, anggota Panitia Kerja RUU Pilkada dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) membantah jika dikatakan rencana pemilihan kepala daerah oleh DPRD adalah untuk menekan pemerintahan Jokowi-Kalla.
Menurutnya, pemilihan kepala daerah secara langsung banyak menyebabkan pertikaian antar pendukung dan juga penyelenggaran pemilihan yang tidak profesional.
Selain itu, besarnya biaya yang dikeluarkan para kandidat dalam pemilihan langsung mendorong siapapun pemenangnya melakukan praktik korupsi untuk mengembalikan modal kampanye.
Jika pemilihan kepala daerah dilakukan DPRD, kata Herman, akan terjadi penghematan anggaran selama lima tahun sebesar Rp 32 trilliun.
"Masyarakat belum siap bangun sistem demokrasi yang kayak Amerika. Biaya politik ini juga sangat besar dan ini akan sangat membebani APBN, bukan APBD lagi. Konflik horizontal antar anak bangsa ini kecil sekali terjadi. Untuk masalah transaksional di DPR kita minta KPK harus ngontrol itu," ujarnya.
Politisi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Arif Wibowo mengatakan, partainya tetap menolak rencana pemilihan kepala daerah melalui DPRD.
Arif mengatakan mekanisme pemilihan langsung itu sebenarnya adalah instrumen koreksi terhadap partai-partai politik yang dinilai masih belum mampu melakukan perekrutan dan seleksi yang baik terhadap calon kepala daerah.
Mekanisme pemilihan kepala daerah melalui DPRD pada masa lalu praktiknya memiliki kecenderungan tertutup, transaksional dan elitis serta mengabaikan suara dari masyarakat, tambahnya.
"Kalau itu menyangkut biaya, high cost politic maka bisa dilakukan secara serentak. Kemudian pengaturan belanja kampanye dan lain sebagainya, kalau itu bisa diatur sedemikian rupa, ada kontrol yang kuat maka pada aspek itu kita bisa lebih murah juga. Dan karena murah pemilihan kepala daerah masih menjadi instrumen yang efektif," ujarnya.