DENPASAR —
Direktur Pelaksana Bank Dunia Sri Mulyani Indrawati mengatakan keputusan Bank Sentral Amerika Serikat, atau The Fed, untuk menunda pengurangan stimulus moneternya dalam jangka pendek berdampak positif, baik bagi negara berkembang maupun negara maju.
Kesempatan ini juga seharusnya dimanfaatkan oleh negara berkembang untuk memperbaiki kebijakan ekonomi, ujarnya Jumat (20/9), di sela-sela pertemuan tingkat menteri keuangan dari negara-negara anggota Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) di Nusa Dua, Bali.
“Banyak negara berkembang yang harus menyesuaikan kebijakannya, supaya mereka bisa di saat yang cukup menantang ini…mereka bisa mengakumulasi kembali apa yang disebut ruangan untuk memiliki kebijakan yang lebih baik, dan kemudian bisa mendapatkan sumber daya untuk melakukan stabilisasi untuk melakukan pengelolaan ekonomi,” ujarnya.
Sri Mulyani menambahkan berdasarkan proyeksi Bank Dunia, ekonomi global diproyeksikan tumbuh 2,4 persen pada 2013 dan menguat secara bertahap menjadi sekitar 3,2 persen dan 3,5 persen pada 2014 dan 2015. Negara berkembang anggota APEC diharapkan berkontribusi hampir 50 persen dari pertumbuhan ekonomi dunia.
Wakil Menteri Keuangan Mahendra Siregar mengatakan bahwa penundaan pengurangan stimulus yang dilakukan The Fed menjadi pembelajaran bagi Indonesia dalam upaya pembenahan kebijakan ekonomi.
Indonesia mengambil hikmah dari kebijakan tersebut dan akan direfleksikan melalui komitmen untuk melakukan reformasi struktural perekonomian, ujarnya.
Mahendra mengatakan semua negara menyadari bahwa quantitative easing atau kelonggaran kebijakan moneter memang harus dihentikan agar tidak selalu mengandalkan biaya murah dan suku bunga rendah.
Biaya murah dan suku bunga rendah belum tentu dapat digunakan dengan baik dan berkelanjutan, sebab jika suatu saat dihentikan maka akan menimbulkan goncangan ekonomi, ujarnya.
“Sebenarnya bagus ada goncangan sekarang ini supaya orang bangun, jangan ketiduran, justru harus dilihat, apalagi yang harus diperbaiki, apalagi yang harus kita rapikan. Sehingga pada saatnya nanti saat betul-betul quantitative easing itu berhenti jangan kaget lagi. Kalau masih kaget lagi itu seperti orang yang kejeblos kedua kali ke lubang yang sama,” ujarnya.
Kepala Kantor Integrasi Ekonomi Regional Bank Pembangunan Asia (ADB), Iwan Jaya Azis mengatakan, selama ini negara anggota APEC sudah menyadari bahwa yang menyebabkan fluktuasi pasar selama ini akibat reaksi yang berlebihan.
Iwan mengusulkan agar reformasi struktural yang dijalankan nantinya lebih fokus pada upaya peningkatan ekspor dan pengurangan impor.
“Intinya adalah melihat bagaimana sisi permintaan itu bisa diatasi. Sisi permintaan itu antara lain melalui pengurangan impor, karena itu bisa membantu neraca pembayaran, tetapi sekarang yang akan ditekankan adalah sisi suplai, jadi bagaimana meningkatkan produksi ekspor,” ujarnya.
Kesempatan ini juga seharusnya dimanfaatkan oleh negara berkembang untuk memperbaiki kebijakan ekonomi, ujarnya Jumat (20/9), di sela-sela pertemuan tingkat menteri keuangan dari negara-negara anggota Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) di Nusa Dua, Bali.
“Banyak negara berkembang yang harus menyesuaikan kebijakannya, supaya mereka bisa di saat yang cukup menantang ini…mereka bisa mengakumulasi kembali apa yang disebut ruangan untuk memiliki kebijakan yang lebih baik, dan kemudian bisa mendapatkan sumber daya untuk melakukan stabilisasi untuk melakukan pengelolaan ekonomi,” ujarnya.
Sri Mulyani menambahkan berdasarkan proyeksi Bank Dunia, ekonomi global diproyeksikan tumbuh 2,4 persen pada 2013 dan menguat secara bertahap menjadi sekitar 3,2 persen dan 3,5 persen pada 2014 dan 2015. Negara berkembang anggota APEC diharapkan berkontribusi hampir 50 persen dari pertumbuhan ekonomi dunia.
Wakil Menteri Keuangan Mahendra Siregar mengatakan bahwa penundaan pengurangan stimulus yang dilakukan The Fed menjadi pembelajaran bagi Indonesia dalam upaya pembenahan kebijakan ekonomi.
Indonesia mengambil hikmah dari kebijakan tersebut dan akan direfleksikan melalui komitmen untuk melakukan reformasi struktural perekonomian, ujarnya.
Mahendra mengatakan semua negara menyadari bahwa quantitative easing atau kelonggaran kebijakan moneter memang harus dihentikan agar tidak selalu mengandalkan biaya murah dan suku bunga rendah.
Biaya murah dan suku bunga rendah belum tentu dapat digunakan dengan baik dan berkelanjutan, sebab jika suatu saat dihentikan maka akan menimbulkan goncangan ekonomi, ujarnya.
“Sebenarnya bagus ada goncangan sekarang ini supaya orang bangun, jangan ketiduran, justru harus dilihat, apalagi yang harus diperbaiki, apalagi yang harus kita rapikan. Sehingga pada saatnya nanti saat betul-betul quantitative easing itu berhenti jangan kaget lagi. Kalau masih kaget lagi itu seperti orang yang kejeblos kedua kali ke lubang yang sama,” ujarnya.
Kepala Kantor Integrasi Ekonomi Regional Bank Pembangunan Asia (ADB), Iwan Jaya Azis mengatakan, selama ini negara anggota APEC sudah menyadari bahwa yang menyebabkan fluktuasi pasar selama ini akibat reaksi yang berlebihan.
Iwan mengusulkan agar reformasi struktural yang dijalankan nantinya lebih fokus pada upaya peningkatan ekspor dan pengurangan impor.
“Intinya adalah melihat bagaimana sisi permintaan itu bisa diatasi. Sisi permintaan itu antara lain melalui pengurangan impor, karena itu bisa membantu neraca pembayaran, tetapi sekarang yang akan ditekankan adalah sisi suplai, jadi bagaimana meningkatkan produksi ekspor,” ujarnya.