Namun, sejumlah pengamat mengkritisi bahwa penunjukan seperti itu bernuansa balas budi.
Sehari setelah video yang menunjukkan ejekan kasarnya pada seorang penjual minuman saat sedang berceramah agama di Magelang, Jawa Tengah, viral di media massa, Utusan Khusus Presiden Prabowo Subianto, Gus Miftah alias Miftah Maulana, menyampaikan pengunduran dirinya.
Gus Miftah yang ditunjuk langsung oleh Prabowo setelah ia dilantik menjadi presiden pada 20 Oktober, tidak saja minta maaf pada sang penjual teh, tetapi juga pada publik dan Presiden Prabowo.
Sementara di Amerika, anggota DPR empat periode dari negara bagian Florida, Matt Gaetz, yang ditunjuk oleh presiden terpilih Donald Trump untuk menjadi jaksa agung mendatang, juga memutuskan untuk mengundurkan diri pada pertengahan November karena berbagai kecaman luas atas dugaan pelanggaran seksual dan penggunaan narkoba. Selang beberapa jam setelah pengunduran diri itu, Trump menunjuk mantan Jaksa Agung Florida Pamela Bondi sebagai pengganti Gaetz. Bondi, yang berusia 59 tahun, adalah pendukung kuat Trump yang terus mendampinginya saat pengadilan pemakzulan pertama.
Kelemahan Sistem Presidensiil
Pengunduran diri seorang tokoh yang sudah resmi diangkat menjadi utusan khusus presiden di Indonesia, dan pengunduran diri tokoh lain di AS yang baru dipilih dan masih harus menunggu konfirmasi Senat, karena beragam masalah yang melilit mereka, menunjukkan rapuhnya sistem presidensiil yang dianut di Indonesia dan AS.
Pakar politik di Badan Riset dan Inovasi Nasional BRIN, Prof. Firman Noor, menjelaskan hal ini. “Merit system tidak berjalan karena hampir semua yang ditunjuk presiden merupakan kompensasi politik. Mindset-nya lebih pada soal bagaimana berkuasa dan mempertahankan kekuasaan, ketimbang menjadi kekuasaan sebagai sesuatu yang meaningful bagi semua pihak. Kita menghadapi situasi di mana ‘investor politik’ begitu besarnya. Presiden yang terpilih menyadari bahwa ia tidak bisa berada dalam posisi seperti sekarang tanpa dukungan para ‘investor politik’ ini, sehingga fokusnya adalah bagaimana memberikan kompensasi – apapun bentuknya – akan dilakukan. Di sisi lain, publik melihat pemimpin yang terpilih sangat berkuasa sehingga menerima saja siapapun yang ditunjuk menjadi pembantunya karena konsekuensi politik dari menyampaikan kritik bisa berbahaya.”
Berbicara pada Associated Press, Dr. Annie Benn, Assistant Profesor of Political Science di College University, mengatakan banyak pihak, terutama yang terus mendorong reformasi – ingin mengurangi jumlah orang yang dapat ditunjuk oleh presiden sebagai pembantunya, dan mendorong merit system.
“Diharapkan dengan mengurangi jumlah pejabat yang ditunjuk langsung presiden itu maka akuntabilitas demokrasi akan terjaga. Mengganti pejabat yang ditunjuk oleh presiden dengan pejabat karir, seperti birokrat karir, dapat meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan karena birokrat karir memiliki masa kerja yang panjang dan pengetahuan institusional yang dibutuhkan untuk menjadi efektif di lembaga mereka,” ujar Benn.
Efisiensi Waktu dan SDM
Di Indonesia, Presiden Prabowo Subianto telah menunjuk dan melantik 110 orang dalam Kabinet Merah Putih-nya, terdiri dari 48 menteri – termasuk tujuh menteri coordinator – juga lima kepala lembaga negara setingkat menteri yang tidak dibawah koordinasi menko, 55 wakil menteri dan satu wakil kepala staf kepresidenan. Ini merupakan kabinet tergemuk sejak era Orde Baru.
Sementara itu di Amerika, seorang presiden terpilih bertanggung jawab atas sekitar 4.000 jabatan berdasarkan penunjukkan politik, di mana 1.200 dari jumlah itu membutuhkan konfirmasi Senat. Presiden terpilih Donald Trump telah menunjuk 15 orang untuk menduduki sejumlah departemen, tetapi masih harus menunggu konfirmasi Senat.
Di antaranya adalah Marco Rubio, yang ditunjuk Trump untuk menjadi menteri luar negeri; Pete Hegseth, yang dipilih untuk menjadi menteri pertahanan; Scott Bessent, yang dicalonkan menjadi menteri keuangan; atau Pam Bondi, yang disebut sebagai jaksa agung menggantikan Matt Gaetz yang dililit sejumlah masalah.
Dr. Annie mengatakan banyaknya jumlah pejabat yang harus dikonfirmasi Senat di AS – juga memakan waktu dan terbukti tidak efektif.
“Coba bayangkan, ada lebih dari 1.200 posisi yang memerlukan konfirmasi Senat. Jumlah waktu yang dihabiskan untuk menelusuri orang-orang ini dalam proses konfirmasi terus semakin meningkat. Jika pada masa pemerintahan Ronald Reagan, Senat membutuhkan waktu 56 hari untuk sidang konfirmasi, pada era Obama dan pemerintahan pertama Trump, diperlukan waktu lebih dari 100 hari.”
Kelompok Oposisi
Lebih jauh Prof. Firman Noor mengatakan satu-satunya cara untuk mengubah kelemahan sistem presidensiil yang berpotensi menurunkan kinerja pemerintahan karena sarat politik balas budi, pejabat yang tidak akuntabel dan pemborosan waktu saat proses konfirmasi; adalah dengan memperkuat kelompok oposisi dan masyarakat sipil.
“Itu pun tidak terlalu efektif karena keduanya tidak terlibat langsung dan hanya berada di pinggiran,” imbuhnya.
Satu hal yang patut diingat bersama adalah pemerintahan yang efektif adalah yang mampu menyederhadanakan birokasi, bukan menambah atau memperumitnya. [em/jm]
Forum