Para pakar kelautan, hukum laut dan diplomat dari sejumlah negara kawasan Asia Pasifik menghadiri Konferensi Tahunan ke-41 Pusat Kebijakan dan Hukum Laut (Center for Oceans Law and Policy) di Yogyakarta baru-baru ini. Mereka membahas Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB (SDGs) nomor 14 tentang pengelolaan potensi dan lingkungan kelautan.
Pembahasan dikaitkan dengan kondisi terkini diantaranya dampak perubahan iklim, kemajuan teknologi untuk ekplorasi potensi bawah laut serta masa depan UNCLOS (United Nations Conventions on the Laws of The Sea), konvensi hukum laut PBB.
Ketua Konferensi yang juga deputi Kedaulatan Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Arif Havas Oegroseno mengatakan kepentingan utama Indonesia adalah meneguhkan sikap melawan Illegal fishing yang kini mendapat dukungan masyarakat dunia, serta perlindungan kekayaan laut untuk dikelola secara berkelanjutan.
“Kita akan membawa hasil konferensi Yogyakarta ke sidang Kelautan PBB 5-10 Juni 2017 dan itu mencakup perlindungan lingkungan hidup - perlindungan lingkungan laut , masalah keseimbangan antara konservasi dan pengelolaan potensi ekonomi dan kita juga membicarakan implementasi hukum laut dimasa depan dimana kita harapkan akan terjadi banyak kerjasama yang semakin erat di berbagai kawasan dunia, dan kita juga mengharapkan bertambahnya jumlah instrumen-instrumen baru di bidang lingkungan hidup dan perubahan iklim,” ungkap Arif.
Kaitannya dengan perubahan iklim, Direktur Australian National Center for Ocean Resources And Security (ANCORS) Universitas Wollongong, Profesor Stuart Kaye mengatakan sejumlah topik penting dibahas diantaranya masalah dampak negatif perubahan iklim terhadap lingkungan laut dan kerjasama internasional untuk mengatasinya.
“Kami membahas dampak negatif perubahan iklim, seperti diskusi tentang naiknya permukaan air laut serta dampaknya terhadap sejumlah wilayah di dunia misalnya di kawasan kutub. Terkait upaya pelestarian adalah keinginan untuk melakukan mitigasi dampak buruk perubahan iklim. Faktanya itu tidak mudah dilakukan dibawah kerangka hukum laut saja,” kata Stuart Kaye.
Pakar hukum laut Profesor Hasjim Djalal mengatakan, pertemuan berusaha mensikronkan beragam kepentingan berkaitan dengan hukum laut dan perlindungan potensi kelautan.
“Mensinkronkan kebijaksanaan-kebijaksanaan masing-masing kita memahami hukum laut itu tapi masing-masing dari kita mempunyai prioritas yang berbeda-beda. Karena banyak di antara konvensi-konvensi hukum laut itu belum mampu mengatur masa depan. Tetapi environment itu sendiri terjadi karena berbagai faktor, seperti faktor alam, karena mismanagement, atau faktor politik,” ujar Hasjim.
Menurut Prof. Hasjim Djalal, Indonesia berkepentingan bagaimana potensi kelautan bisa menciptakan kerjasama, perdamaian dan memberikan kesejahteraan kepada masyarakat.
“Banyak sekali kepentingan kita di bidang kelautan itu, apalagi kita juga berada di antara 2 samudera itu. Apa implikasinya terhadap keamanan, kestabilan dan kesejahteraan bagi bangsa kita. Tapi karena ini terkait banyak dengan territorial issues seperti Laut China Selatan misalnya, kerjasama itu nggak maju-maju dalam beberapa hal,” imbuhnya.
Sementara itu, Satya Nandan, mantan Sekjen International Seabed Authority menilai apa yang didiskusikan di Yogyakarta merupakan persiapan yang baik untuk konferensi kelautan PBB di New York awal bulan Juni. [ms/ii]