Dari Mesir, Sudan sampai Aljazair, para perempuan kini semakin aktif berpartisipasi dalam demonstrasi-demonstrasi untuk menuntut perubahan dalam masyarakat. Tapi aktivisme vokal mereka dalam masyarakat yang mayoritas Muslim itu dianggap oleh sebagian pihak sebagai ancaman, sehingga mendorong pasukan keamanan bereaksi secara keras -- seringkali melecehkan perempuan secara seksual sebagai taktik kontrol.
Ketika protes-protes anti-pemerintah pecah di Lapangan Tahrir Mesir pada tahun 2011, Hend Nafea masih kuliah. Ketika dia melihat banyak pemuda menyerukan diakhirinya kekuasaan Hosni Mubarak selama tiga puluh tahun, dia pun ikut serta.
Hend Nafea, aktivis HAM Mesir berkisah, "Saya berpartisipasi (dalam aksi protes) bukan hanya untuk memperjuangkan kebebasan, martabat, keadilan sosial dan menyerukan dihormatinya HAM di Mesir, tapi juga hak-hak saya sebagai perempuan. Itu adalah pertama kalinya saya bersuara."
Nafea ikut dalam protes-protes tanpa memberitahu keluarganya. Meskipun merasa puas bergabung dalam revolusi, dia juga menyaksikan sisi buruknya. Dalam sebuah protes bulan Desember 2011, Nafea diserang oleh pasukan keamanan.
"Saya digeret, dipukuli dan dilucuti pakaiannya, dan ada sekitar 15 tentara memukuli saya, melecehkan saya secara seksual, memegang kemaluan saya. Dan mereka menggeret saya ke bangunan Dewan Shura di Lapangan Tahrir," tambah Nafea.
Nafea diborgol ke sebuah tempat tidur, meskipun tangannya patah. Luka-lukanya dibiarkan tanpa pengobatan selama dua hari.
"Ada sembilan perempuan lain bersama saya yang juga ditangkap dan dipukuli. Kami ditahan di ruangan itu selama lebih dari 15 jam. Kami disiksa -- mereka menggunakan setrum, dan bahkan mengancam akan memerkosa. Dan saya akhirnya dibebaskan, saya tidak dipulangkan ke rumah melainkan dikirim ke rumah sakit militer karena saya kehilangan kesadaran, dan mereka pikir saya mati," tuturnya.
Perlakukan terhadap Nafea dan para perempuan lain memicu kemarahan publik. Ribuan perempuan berpawai di jalan-jalan, menuntut diakhirinya kekerasan terhadap perempuan dan diakhirinya kekuasaan militer.
Di Sudan, para perempuan memainkan peranan penting dalam menggulingkan kediktatoran. Alaa Salah, 22 tahun, menjadi simbol revolusi setelah foto-foto dirinya berorasi dari atas sebuah kendaraan, tersebar di seluruh dunia.
Alaa Salah mengatakan, "Kita ingin Sudan yang lebih baik, negara demokratis. Negara yang memperlakukan semua sesuai hukum tanpa favoritisme. Kita sekarang berkumpul di lapangan sampai tuntutan-tuntutan kita dipenuhi."
Dan di Aljazair, para perempuan telah memainkan peranan penting dalam protes-protes yang menggulingkan penguasa sejak lama Abdelaziz Bouteflika. Foto seorang balerina Aljazair yang terlihat menari di depan sebuah bendera, telah viral.
Protes-protes oleh perempuan, terutama di negara-negara Muslim, terlihat seperti simbol kuat, dan pasukan keamanan bereaksi dengan keras.
"Mereka menggunakan kekerasan berbasis gender untuk menghancurkan para perempuan dan untuk menjauhkan para perempuan dari protes-protes dan dari kegiatan di tempat umum. Media pemerintah mengatakan 'kenapa mereka pergi kesana?' Jadi mereka menyalahkan kami, para perempuan, karena pergi ke Lapangan Tahrir daripada menyalahkan orang-orang yang melakukan ini kepada kami," tambah Nafea.
Terlepas dari rasa sakit yang dialaminya, Nafea mengatakan pengorbanan itu berarti. Dia terpaksa lari menyelamatkan diri ke Lebanon dan kini tinggal di AS. Pemerintah Mesir berupaya mengadilinya secara in absentia, dan memvonisnya hukuman 25 tahun penjara atas perannya dalam protes-protes itu. (vm)