Sulimah, anggota Wadon Wadas gigih berjuang mempertahankan tanahnya. Kamis (14/7) dia ikut ambil bagian dalam aksi bisu di jalan Desa Wadas, memprotes pengukuran tanah yang dilakukan pemerintah. Dia dan perempuan Wadas lain mengenakan topi besek, simbol tradisi perempuan setempat yang mungkin hilang, karena bambu sebagai bahan baku besek akan turut tumbang akibat tambang.
Sulimah juga beraksi sambil membawa bibit tanaman, sebagai simbol konsistensi mereka dalam menjaga alam. Di bagian mukanya, selembar uang juga ditempelkan sebagai simbol bahwa alam tak bisa digantikan oleh uang.
“Kami tidak silau dengan uang ganti rugi miliaran rupiah, sehingga tega merusak alam,” ujarnya.
Wadon Wadas adalah organisasi perempuan di Desa Wadas, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, yang tegas menentang rencana tambang batu andesit di kawasan itu. Tambang ini menjadi bagian dari Proyek Strategis Nasional Bendungan Bener. Jika selesai, proyek prioritas Presiden Joko Widodo itu akan menghadirkan bendungan tertinggi di Asia Tenggara.
Sulimah dari Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempadewa) juga menyebut, warga meminta ada penindakan terhadap aparat keamanan, yang melakukan kekerasan terhadap warga, 23 April 2021 dan 8 Februari 2022. Dia juga meminta Gubenur Jawa Tengah Ganjar Pranowo untuk menghentikan segala bentuk pengukuran dan berdialog dengan masyarakat.
Bersama Sulimah, sekitar 100 anggota Gempadewa menggelar aksi bisu keliling desa. “Kami melakukan aksi bisu karena kami sudah kehabisan kata-kata. Sudah belasan kali kami melakukan protes dan menempuh jalur hukum, tetapi pemerintah tidak pernah mendengarkan kami,” kata Siswanto, tokoh pemuda Wadas.
Tim gabungan dari pemerintah memang sedang melakukan inventarisasi dan identifikasi pengadaan tanah Desa Wadas tahap II, Selasa (12/7) hingga Jumat (15/7). Siswanto memastikan, Gempadewa teguh menjaga alam.
“Sesepuh Nahdlatul Ulama, KH. Hasyim Asy’ari pernah mengatakan petani adalah penolong negeri. Jika kami, para petani di Wadas, tidak punya tanah lagi, maka kami tidak bisa menjalankan fungsi kami menolong negeri ini dengan memproduksi berbagai hasil pertanian,” tambahnya.
Sumber Kehidupan Keluarga
Perempuan, dalam bayangan dominasi peran laki-laki, sebenarnya adalah figur kuat di tengah konflik sumber daya alam, seperti tambang andesit di Wadas ini. Alasan mereka menolak, begitu dekat dengan peran mereka dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya Kasmini, yang ditemui VOA dalam kesempatan berbeda. Kasmini juga anggota Wadon Wadas yang menolak tambang. Ia meyakini jika perbukitan di belakang rumahnya ditambang, niscaya bukan hanya tanah yang hilang, tetapi juga sumber penghidupan.
“Perempuan di sini itu membuat kerajinan besek, juga baki. Kalau tidak sedang panen di kebun, tiap hari itu pekerjaannya. Membuat kerajinan untuk menambah penghasilan, sebab kalau hasil bumi panen ikut musim, membuat besek bisa rutin,” kata Kasmini kepada VOA.
Wadas ada di lereng perbukitan. Selain kaya tanaman buah, bambu juga mudah ditemukan, bahkan di halaman belakang rumah warga.
“Makanya desa ini kalau ditambang, terus saya mikirnya kami harus bagaimana. Kalau pindah dari sini, ke tempat lain yang tidak ada kebun bambunya, misalnya bikin besek kan bambunya harus beli. Kalau disini kan tinggal ambil dari kebun,” kata Kasmini yang enam tahun berjuang menolak tambang.
Pada 6 Juni 2022 , Kasmini menjadi satu dari puluhan Wadon Wadas yang datang ke kantor gubernur Jawa Tengah di Semarang. Mereka membawa 27 kendi, sebagai simbol seluruh mata air di seluruh Wadas. Kedatangan mereka disambut kawat berduri dan Ganjar tak datang menemui.
“Padahal, waktu Pak Ganjar ke Wadas kami sambut baik, dan pulangnya kami bawakan duren dan hasil bumi lain, kok kami ke Semarang malah disambut kawat duri,” kata Kasmini dalam bahasa Jawa.
Ruang Politik Perempuan
Kebun atau aktivitas membuat besek, bagi perempuan Wadas bukan hanya soal pengisi waktu. Kegiatan ekonomi itu adalah sekaligus “ruang politik” bagi mereka, yang 99 persen berprofesi sebagai petani.
Ketua Badan Eksekutif Komunitas Solidaritas Perempuan (SP) Kinasih, Sana Ullaili yang mendampingi perempuan Wadas menyebut ruang-ruang politik semacam itu penting karena ruang publik perempuan di pedesaan terbatas.
“Aktivitas mengolah pangan itu menjadi ruang politik perempuan. Menentukan benih, mengolah kebun mau dikelola seperti apa. Itu sebenarnya, kalau kita lihat di kehidupan di sini, manajernya perempuan. Ini kapan harus dipanen, hasil panen ini mau dikemanakan, itu rata-rata yang mengurusi perempuan,” kata Sana.
Ketika rencana tambang datang dan muncul konflik akibat berebut kuasa sumber daya alam, kehidupan perempuan dan ruang politik mereka turut terdampak. Seperti Kasmini, Sana juga mengingatkan bahwa bukan hanya aspek lingkungan saja, perempuan juga khawatir tentang kehidupan ekonomi keluarga mereka dalam jangka panjang.
“Ini ke depan mau dikemanakan? Ketika hulu semuanya ini sudah rusak, otomatis kan semua ruang itu hilang. Tidak hanya ruang alamnya. Ruang politik dan ruang ekonomi, itu akan hilang semua,” paparnya.
Karena itulah SP Kinasih ada di Wadas hingga saat ini untuk mendampingi perempuan-perempuan disana meniti konflik sumber daya alam yang terjadi. Para perempuan itu, kata Sana, harus diyakinkan untuk tetap memiliki posisi politik dan memperjuangkannya.
“Kedua, yang juga harus dikuatkan adalah relasi perempuan dengan alam. Karena di tengah situasi konflik ini, interaksi perempuan dengan alam di sekitarnya otomatis berkurang, karena energinya harus terbagi-bagi. Energi untuk merawat alam, energi untuk merawat relasi sosial antara satu dengan yang lainnya,” tambah Sana.
Perempuan Wadas yang menolak tambang, tambah Sana, adalah perempuan yang mencoba merawat alam dengan cara mereka. Menolak tambang, adalah sikap politik perempuan dalam level lebih strategis.
Bukan hanya demi sumber ekonomi, perempuan Wadas mempertahankan alamnya karena juga mempertahankan ruang politik dan ruang publik mereka. Bambu menjadi bahan baku besek, dan membuat besek adalah tradisi berkumpul perempuan. Dalam tradisi ini, perempuan memiliki ruang untuk berbicara segala hal yang dia pikirkan.
“Ketika ada yang menganyam besek, dia punya forum sendiri, dia punya ruang sendiri, yang itu menjadi ruang untuk dia bercerita, memikirkan nasib Wadas ke depan seperti apa,” tambahnya.
Ruang itu penting, karena struktur sosial di pedesaan yang membuat perempuan selalu tidak memiliki ruang bicara, jika berkumpul dengan laki-laki.
“Perempuan karena konstruksi sosialnya yang terbatas, ketika kumpulan yang dicampur laki-laki, dia tidak akan keluar suaranya. Karena dia tidak dibentuk oleh sejarah untuk berani menyampaikan pendapat untuk berani lantang menyuarakan apa yang digelisahkan. Sehingga ruang-ruang alternatif itu sebenarnya ruang-ruang yang sedari awal dia ciptakan sendiri,” ujar Sana.
Catatan Komnas Perempuan
Pada Februari 2022, Komnas Perempuan mengkritisi rencana penambangan batu andesit di Wadas, karena akan merusak kehidupan perempuan. Hal itu terjadi karena perempuan petani hidup lekat dengan alam sebagai sumber penghidupan dan pengetahuan lokal.
Perempuan Wadas telah mengadu ke Komnas Perempuan terkait lahan dalam izin tambang yang merupakan lahan produktif. Lahan itu, selama ini dikelola masyarakat terutama perempuan dengan bertanam gula aren, kelapa, kakao, cengkeh, kopi, durian, dan tanaman palawija untuk kebutuhan pangan keluarga.
Komnas Perempuan juga mencatat selain penghasil besek, perempuan Wadas juga piawai dalam obat-obat tradisional, menggunakan tanaman obat seperti kemukus atau cabe jawe. Penambangan dikhawatirkan menyebabkan musnahnya flora dan fauna sekaligus sumber pengetahuan dan kelangsungan hidup warga, khususnya perempuan.
Komnas Perempuan mendesak pemerintah Jawa Tengah melakukan dialog melibatkan perempuan sebagai garda penyambung hidup di desa tersebut. Analisis dampak dan lingkungan perlu mengutamakan pelibatan warga, termasuk perempuan yang telah menetap di wilayah setempat secara turun temurun.
Komnas Perempuan mencatat bahwa konflik Sumber Daya Alam (SDA) dan tata ruang berdampak khas terhadap perempuan dan merupakan konflik yang berlangsung dalam waktu yang relatif lama sehingga menyengsarakan warga. Dalam konflik SDA dan tata ruang, perempuan akan semakin rentan menjadi korban kekerasan berbasis gender, mengalami pemiskinan dan kehilangan sumber daya pengetahuan perempuan seperti ketrampilan seni gerabah atau tembikar, kedaulatan pangan dan obat-obatan. [ns/ah]
Forum