Tautan-tautan Akses

Kapolri: Bom Pasuruan Sebenarnya untuk Diledakkan Saat Pilkada


Kapolri Jenderal Tito Karnavian (Foto: Reuters).
Kapolri Jenderal Tito Karnavian (Foto: Reuters).

Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan bom yang meledak di Pasuruan, Jawa Timur sebenarnya awalnya diperuntukan untuk meledakan tempat pemungutan suara (TPS) saat pilkada serentak 27 Juni yang lalu.

Warga di Jalan Pepaya RT 007/RW 01 Desa Pogar, Kecamatan Bangil, Kabupaten Pasuruan, Provinsi Jawa Timur, kemarin digegerkan oleh ledakan bom di sebuah rumah kontrakan dihuni oleh Ahmad Abdul Robbani alias Abu Ali alias Abdullah alias Anwardi (50 tahun).

Di rumah itu, Ahmad, asal Karang Tanjung Rt 006/RW 07, Serang, Banten, tinggal bersama istri dan satu putranya berumur enam tahun. Ledakan pada Kamis siang itu membuat anak semata wayang Abdullah luka-luka.

Setelah ledakan, Ahmad kabur meninggalkanya putranya yang cedera. Polisi hingga kini masih memeriksa sang istri, Dina Rohana.

Kepada wartawan, Jumat (6/7), Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Polri) Jenderal Tito Karnavian mengatakan Ahmad merupakan bagian dari Jamaah Ansarud Daulah (JAD) dipimpin oleh Aman Abdurrahman - yang telah divonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada bulan lalu.

Tito menambahkan Ahmad berencana meledakkan bom itu saat pelaksanaan pemilihan gubernur Jawa Timur pada 27 Juni lalu.

"Ini bukan peristiwa serangan bom, bukan serangan teror. Tapi bom ini tadinya rencananya oleh kelompok ini akan digunakan untuk menyerang TPT-TPS pada saat pilkada (pemilihan kepala daerah)," kata Tito.

Tito menekankan ledakan di Bangil itu adalah ledakan kecil dan tidak sama dengan serangan teror yang terjadi di Surabaya bulan lalu. Dia mengatakan ledakan di rumah kontrakan Ahmad berasal dari bom ikan berdaya ledak rendah.

Menurut Tito, polisi telah menangkap satu rekan Ahmad namun menolak mengungkapkan identitas dari teman pelaku itu. Tito menjelaskan bom rakitan itu meledak karena dimainkan oleh anak pelaku.

Pengamat Terorisme dari Universitas Malikussaleh, Aceh Al Chaidar menyerukan kepada polisi untuk segera memantau media komunikasi yang kerap digunakan teroris dan napiter seperti WhatsApp, Telegram, Facebook dan Instagram. Pemerintah harus cepat membentuk satuan-satuan khusus untuk menangani kelompok-kelompok teroris di berbagai lokasi.

Al Chaidar yang lama meneliti kasus terorisme dan radikalisme di Indonesia juga mengatakan pemerintah harus mengkaji-ulang program deradikalisasi yang memang sudah gagal total.

Ahmad terduga teroris di Pasuruan pernah mendekam di penjara selama 2010-2015 atas kasus ledakan bom sepeda ontel di Kalimalang, Bekasi Barat. Dalam perkara ini Ahmad divonis lima tahun penjara.

Hal senada juga diungkapkan pengamat terorisme dari Universitas Indonesia Ridlwan Habib, yang menyarankan agar ditemukan pendekatan lain untuk menangani napiter atau mantan napiter.

"Ada satu kasus di Jawa Tengah, itu aktivis senior Jamaah Islamiyah yang dulu sama sekali tidak mau berkomunikasi dengan petugas, tidak mau dialog dengan sipir, tidak mau dengan polisi, itu akhirnya dia luluh karena hobi. Ustadz ini ternyata hobinya ayam kate, ternyata petugas tahu kemudian didekati dengan itu. Diberikan ayam, diajak diskusi tentang ayam, itu masuk di situ, Tetapi kalau diskusi soal Islam yang benar, soal surga, neraka, serangan teroris halal atau haram itu stop mereka, ga bisa. Saya kira human approach seperti ini bisa dipakai dan petugas-petugas yang bekerja benar-benar harus memahami psikologi teroris, psikologi kelompok ini harus benar-benar dipahami. Soft Approach bukan dalam konteks normatif ya. Kalau sekarang kan normative mendatangkan ulama dari Timur Tengah, mengadakan seminar dan kajian yang sangat normatif. Itu saya kita tidak akan efektif. Harus ada pendekatan yang extra human. Dipetakan benar karakter orangnya. Masuknya dari soal pribadi bukan ideologi," demikian papar Ridlwan. [fw/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG