Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilihan Umum dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menegaskan pandangannya bahwa hingga saat ini pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung masih merupakan pilihan terbaik. Pemilihan secara langsung, katanya, melegitimasi hak rakyat untuk memilih kepala daerahnya.
Titi mengungkapkan hal tersebut menyusul adanya keputusan Kementerian Dalam Negeri untuk menunjuk pejabat kepala daerah semantara untuk mengisi kekosongan jabatan hingga pilkada serentak digelar pada 2024.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian sebelumnya mengatakan pemilihan tersebut bisa jadi momentum untuk membuktikan sistem yang terbaik dalam memilih kepala daerah yang bebas korupsi, baik melalui mekanisme pemilihan langsung, dipilih DPRD atau ditunjuk oleh Kementerian Dalam Negeri. Ia juga mengatakan para pejabat daerah yang ditunjuk tersebut seharusnya tidak korupsi karena mereka menjabat tanpa biaya politik, tidak seperti pencalonan kepada daerah dari partai politik dalam proses pemilihan langsung oleh rakyat.
"Kalau di dalam pemilihan langsung, ada daulat rakyat yang memang menjadi hak rakyat yang menjadi hak rakyat untuk memilih kepala daerahnya secara langsung. Sementara pemilihan kepala daerah melalui pengisian penjabat atau penunjukan, belum ada-apa diprotes publik karena hak atau akses publik untuk berpartisipasi betul-betul dilimitasi," kata Titi.
Menurut catatan Kemendagri terdapat 271 kepala daerah yang akan habis masa jabatannya pada 2022 dan 2023. Sejauh ini sudah lima provinsi dan 43 kabupaten/kota yang dipimpin pejabat sementara gubernur dan pejabat sementara bupati/wali kota karena tidak punya kepala daerah definitif.
Lebih jauh Titi menjelaskan bahwa sesuai putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67 Tahun 2021, 48 penjabat kepala daerah yang ditunjuk oleh Kementerian Dalam Negeri itu hanya bersifat sementara hingga kepala daerah hasil pilkada serentak pada November 2024 diperoleh.
Dia menambahkan pilkada secara tidak langsung hanya bisa dilakukan untuk daerah-daerah yang bersifat khusus atau istimewa. Dia mencontohkan Yogyakarta di mana Sri Sultan menjadi gubernur dan Pakualam menjadi wakil gubernur. Kemudian kota dan kabupaten di Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.
Mahkamah Konstitusi, katanya, menekankan prinsip demokratis yang mengandung dua hal sangat krusial yang harus dipenuhi, yakni bagaimana partisipasi warga negara dalam proses pemilihannya dan hak warga negara untuk menjadi kandidat serta memastikan ada persaingan yang kompetitif dalam prosesnya.
Titi Anggraini juga berharap kebijakan penunjukan pejabat kepala daerah tersebut tidak ditunggangi oleh kepentingan untuk memuluskan pilkada secara tidak langsung atau penghapusan mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung. Jika proses penunjukan langsung, lanjut Titi, itu akan menimbulkan kontroversi dan protes dari masyarakat.
Sistem Pemerintahan Otoriter
Sementara itu, peneliti senior di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro, menilai penunjukan kepala daerah oleh pihak pemerintah bisa dilakukan untuk sistem pemerintahan yang otoriter. Namun sejak era reformasi, dia mengakui Indonesia masih melakukan coba-coba dalam menerapkan mekanisme pemilihan umum.
Dia menambahkan pemangku kepentingan memilih mekanisme pilkada secara langsung dengan sejumlah asumsi. Misalnya partai politik sudah sehat, KPU dan Bawaslu melakukan tugas secara profesional, institusi penegak hukum sudah baik dan tidak partisan. Namun, hasil penelitiannya selama tiga tahun berturut-turut menunjukkan elite politik menjadi penghambat proses demokrasi di daerah.
"Makanya mengapa kita mintakan (pilkada) dulu (ditunda). Kalaupun dievaluasi pilkada langsung itu, ya memberikan waktu kepada partai-partai politik untuk berbenah diri, untuk melakukan reformasi di internalnya supaya ada perbaikan-perbaikan kualitas," ujar Siti.
Sehingga nantinya, tambah Siti, partai-partai politik melakukan kaderisasi, promosi kader sesuai kualitas. Jadi ada pertanggungjawaban yang sesama di pengurus partai untuk mengirim kader berkuaitas di pemilihan legislatif, pemilihan presiden, dan pemilihan kepala daerah.
Jika itu yang dilakukan, dia meyakini akan berdampak positif terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia.
Proses Pilkada
Pada kesempatan yang sama, Titi mengakui bahwa masih banyak hal yang harus diperbaiki dalam proses pilkada secara langsung. Mulai dari pencalonan kandidat di partai yang mestinya demokratis, pengawasan, dan penegakan hukumnya.
Di samping itu, masalah besar lainnya dari proses pilkada secara langsung adalah ongkos politik yang mahal. Hal itu bisa diatasi dengan regulasi yang ketat, misalnya pembatasan belanja kampanye yang logis, akuntabilitas penerimaan dan pengeluaran dana kampanye, pendidikan politik yang berjalan baik, pengawasan dan penegakan hukum yang optimal selama kepala daerah terpilih memimpin.
Karena itu, Titi menekankan pemerintah dan DPR memperbaiki kelemahan-kelemahan yang masih ada dalam sistem pilkada secara langsung. [fw/ah]